Bagaimana Kita Menjalani Kehidupan?

Oleh: Budi Winarto

mepnews.id – Kehidupan di dunia yang sebentar ini harus kita maknai dengan hidup berkualitas. Jangan sampai kehidupan yang fana ini menjadikan musabab kita menderita di dunia apalagi di akhirat kelak.

Agar memahami kehidupan, mari kita kaji asal-muasalnya dan bagaimana kita menyikapinya. Dalam kitab suci, manusia pertama diciptakan dari sari pati tanah. Memahami asal muasal ini bisa memicu kita untuk saling menghadirkan sifat tawadlu. Dengan wasilah ini, diri kita bisa menjadi pemimpin di muka bumi.

Secara terminologi, penciptaan manusia dari sari pati tanah ini memiliki makna bisa memadamkan api syahwat, kemarahan dan ketamakan. Secara etimologi, sari pati tanah memiliki pengertian suatu zat dari bahan makanan (tumbuhan maupun hewan) yang bersumber dari tanah, yang kemudian dicerna menjadi darah, kemudian diproses menjadi sperma.

Apa makna manusia diciptakan dari tanah?

Manusia tercipta dari tanah, sujud pun ke tanah dan kelak akan kembali ke tanah lagi. Itu pengingat bahwa penciptaan manusia dari bahan yang terletak di bawah. Maka, janganlah menjadikan diri sombong dan jumawa atas apa yang ada dan bisa dilakukan saat ini.

Sombong adalah sifat yang sangat dibenci dan dimurkai Allah Swt. Dalam sebuah hadist qudsi, Allah Swt berfirman, “Sifat sombong itu selendangKu dan keagungan itu pakaianKu. Barangsiapa menentangKu dari keduanya, maka akan aku masukkan ia ke neraka (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad). Dari hadist ini, jelas bahwa yang sejatinya memiliki kesombongan dan keagungan hanyalah Allah Swt. Sedangkan manusia hanya memiliki sifatnya.

Jangan sampai salah kaprah memaknai ‘keagungan’ yang dimiliki diri berupa harta, jabatan, kekuasaan, rupa, status sosial atau lainnya. Antara keaguangan yang dimiliki dan kesombongan itu jaraknya tipis. Besar sekali potensi kesombongan bisa mendominasi jika manusia tidak mawasdiri. Sifat sombong bisa muncul karena disengaja atau tanpa sengaja. Bagaimana pun itu, ketika potensi kesombongan muncul dan lebih mendominasi diri, maka Allah Swt akan sangat murka.

Kita ingat sejarah bagaimana Fir’aun dengan kesombongan mengaku sebagai Tuhan akhirnya ditenggelakan di Laut Merah. Kita juga terkenang sejarah Qorun yang dengan kesombongan dan keserakahannya akhirnya ia ditenggelamkan bersama seluruh hartanya ke dalam perut bumi tanpa sisa. Jadi, bisa dibilang orang-orang yang memiliki sifat seperti Fir’aun atau Qorun ini sejatinya begitu sombong dan serakah sehingga iblis pun kalah. Iblis hanya sombong karena merasa lebih mulia oleh penciptaannya dari api sehingga tidak mau menyembah Adam yang tercipta dari tanah. Kesalahan Iblis hanya membangkang tidak mau sujud kepada manusia. Bandingkan dengan Fir’aun dan Qorun; yang mungkin sifat-sifat mereka juga melekat pada diri kita.

Oleh karena itu, manusia yang memiliki ketawadluan harus memiliki tujuan hidup. Tujuan hidup ini akan menjadikan pembeda antara manusia yang satu dengan lain. Jika tujuan hidup kita hanya mengumpulkan harta, maka apa bedanya dengan Qorun yang dilaknat Allah Swt? Jika tujuan hidup kita menjadi penguasa, pun apa bedanya dengan Fir’aun yang bukan hanya penguasa namun saking hebat kuasanya sampai-sampai mengaku Tuhan. Ketika seseorang salah meletakkan posisi diri, maka tunggulah kehancurannya.

Di sisi lain, ketika seseorang biasa hidup hanya berorientasi pada kepingin bertemu Allah, lantas kenapa Nabi Muhammad Saw saat mi’raj masih mau kembali ke bumi? Pun ketika ada seseorang awam yang hanya berorientasi pada syurga, kenapa Nabi Adam yang sudah berada di syurga dengan segala kebahagiaanya harus ke bumi sebagaimana kembali pada unsur ia diciptakan (tanah)? Semua tentu mejadi perenungan.

Alam semesta ini terhampar luas dan di dalamnya ada unsur pembentukan manusia, mulai dari tanah, air, angin dan api. Tentu ini mengandung makna tersendiri. Apabila unsur tanah, api, air dan angin berjalan seimbang, maka seimbang pula lah alam semesta beserta isinya. Sebaliknya, apabila ada ketidakseimbangan, tentu akan menjadi bencana semacam banjir, kebakaran, tanah longsor, puting beliung dan lainnya, yang bisa menimpa manusia.

Manusia dalam tubuhnya juga punya unsur yang bersifat dan mensifati unsur yang ada di bumi. Nafsu amarah bisa tercipta dari unsur saripati api. Nafsu lawwamah tercipta dari unsur angin. Nafsu mulhimah tercipta dari unsur air. Nafsu mutmainnah tercipta dari sari pati tanah.

Dunia ini bisa disebut sebagai panggung bagi manusia untuk melakukan peran sesuai dominannya unsur-unsur bumi yang ada di dalam dirinya. Ketika semua unsur seimbang, dan manusia mampu mengelola orientasi kebaikan, maka jadi baik lah kehidupan mereka.

Membaca artikel tes kepribadian: “Terdapat Air, Udara, Api, Tanah, Elemen Alam yang Kamu Pilih Ungkapan Karaktermu Sesungguhnya,” ini menjadi nutrisi tersendiri. Tanah sebagai unsur dominan dari sari patinya adalah elemen yang paling stabil dan konkrit dalam penciptaan manusia. Di dalam elemen tanah menjadikan orang bisa rasional (memiliki pengetahuan) untuk bisa membedakan mana yang haq dan bathil.

Berbeda dengan elemen air di dalam diri manusia yang secara esensi bisa menjadikan emosi, empati, kreatifitas bahkan jiwa sosial yang tinggi. Elemen angin membekali manusia memiliki cara berkomunikasi dan berbagi ide yang baik sehingga dari unsur ini akan menjadikan seseorang bijaksana. Unsur api bisa menjadikan seseorang memiliki jiwa sosial tinggi.

Keempatnya membawa peran sendiri-sendiri, dan unsur tanah yang paling berpengaruh dalam membawa peran pentingnya.

Betapa penting unsur-unsur di dalam tubuh ini untuk dikelola dengan baik dan benar. Tatkala seseorang mampu menyeimbangkan keempat unsur secara baik, maka tidak menutup kemungkinan ia akan memiliki derajat mulia. Kepribadiannya akan terbentuk dirinya menjadi manusia berkualitas, karena kebaikannya mampu melangitkan perbuatan mulia dan ending-nya membawanya ke syurga (fi ahsani taqwim). Sebaliknya, mereka yang tidak bisa menjaga pola dari keempat unsur di dalam tubuhya, akan terus membumi bersama sifat dan karakter buruknya, sehingga mereka menjadi manusia yang paling rendah (asfala safilin) yang akan menempatkan diri mereka di neraka.

Oleh karenanya, orientasi hidup kita harus jelas. Bukanlah melulu untuk akhirat, apalagi dunia. Tapi, lebih ke bagaimana kita sebagai manusia bisa mengendalikan dan menyeimbangkan unsur-unsur dalam tubuh untuk mencapai keimanan yang baik, serta beramal shaleh agar kita mencapai predikat fi ahsani taqwim.

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook Comments

Comments are closed.