oleh: Mimik Sudarmiati
mepnews.id – Bondowoso berada di bagian timur provinsi Jawa Timur dan secara kultural masuk wilayah Tapal Kuda bersama Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Jember, Banyuwangi dan Lumajang. Masyarakat di kawasan Tapal Kuda dikenal sebagai Pandalungan tempat bercampurnya beberapa budaya dan bahasa.
Mayarakat Bondowoso asli menggunakan bahasa Madura sebagai alat komunikasi sehari-hari. Tapi, bahasa ini sedikit berbeda dengan bahasa di Pulau Madura karena sudah berpadu dengan bahasa Jawa. Misalnya ‘empiyan’ dalam bahasa Madura sama artinya dengan kata ‘sampeyan’ dalam bahasa Jawa yang artinya ‘kamu’. Kata ‘sengko’ (kamu), misalnya, di Bondowoso diucapakan atau ditulis menjadi ‘engko’.
Sebagai bagian dari pulau Jawa, sejatinya bahasa Jawa lebih kental di Bondowoso. Namun, sebagian besar masyarakat berkomunikasi dengan Bahasa Madura karena babat alas Bondowoso cikal bakalnya dari Madura. Selain pembukaan wilayah oleh Kiai Bagus Asra alias Kiai Ronggo Kertonegoro asal Madura pada abad ke-18, banyak orang Madura yang bermigrasi ke Jawa termasuk ke Bondowoso.
Dalam pergaulan sehari-hari, penggunaan bahasa Madura ada tiga tingkatan (ondhagga bhasa). Tingkatan ini digunakan seseorang saat berhadapan dengan tingkatan lawan bicaranya. Ada bhasa mandhap (kasar) alias ondhag andhap yang dikenal dengan Bhasa Enja’-Iyah. Ada bhasa tengnga’an (sedang) alias ondhag tengnga yang dikenal dengan Bhasa Engghi-Enten. Ada juga bhasa alos (halus) alias ondhag tengghi yang dikenal dengan Bhasa Engghi-Bhunten.
Bhasa Enja’-Iyah (tidak-iya) digunakan orang yang lebih tua kepada yang lebih muda atau orang yang dituakan pada orang yang dimudakan. Misalnya, guru dengan murid, orang tua dengan putranya. Bisa juga digunakan oleh orang-orang yang memiliki strata sama atau setingkat. Misalnya, penggaulan antar teman sebaya, atau usianya relatif sama. Misalnya: Sengko’ ghi’ ngakana (Saya masih makan). Ba’na ta’ melleya bakso? (Kamu tidak beli bakso?) Mara amaen ka bengko (Ayo mampir ke rumah).
Bhasa Engghi-Enten (iya-tidak) digunakan oleh penutur sebaya untuk saling menghormati, atau penutur lebih muda pada penutur dengan selisih usia lebih tua (kakak). Tujuannya untuk menghargai. Contoh: Kaula ghi’naddeh (Saya masih makan). Sampeyan ta’ melleya bakso? (Anda tidak beli bakso?) Toreh amaen ka compo’ (Ayo mampir ke rumah).
Bhasa Engghi-Bhunten digunakan oleh penutur pada orang tua atau orang yang seusia dengan orang tua atau dengan orang yang dihormati karena levelnya lebih atas.
Tiga tingkatan bahasa lisan di Bondowoso itu dari rendah ke tinggi. Tak jauh berbeda dengan tingkatan dalam Bahasa Jawa dari Bahasa Ngoko, Kromo, sampai Kromo Inggil. Penutur di Bondowoso sudah memahami dengan siapa dia berkomunikasi. Dia segera mengadaptasi diri akan memakai bahasa tingkat rendah, tengah atau tinggi.
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, santun dalam perilaku, sangat menghargai dan menjaga perasaan orang lain. Pada masyarakat, misalnya, di pulau-pulau Jawa, Bali, dan Madura, bahasanya mempunyai tingkatan. Tentu tingkatan berbahasa ini berpengaruh pada sikap dan perilaku penuturnya.
Dengan Bhasa Engghi-Bhunten, orang tua mendidik putra-putrinya menjadi pribadi yang adhap ashor yaitu sikap rendah hati atau tawadlu’ dalam pergaulan keseharian kepada siapapun, terlebih kepada yang lebih tua atau yang dituakan. Sikap adhap ashor merupakan sopan santun atau tata karma merupakan hal paling penting dalam kehidupan karena cerminan dari akhlak mulia.
Dalam mengajarkan Bhasa Enggi-Bhunten, metode yang digunakan orangtua adalah praktik langsung dalam berkomunikasi sehari-hari. Orangtua memberi contoh langsung berupa ucapan, sikap, bahkan dengan tinggi-rendahnya suara. Misalnya, ketika mengucapkan kata ka’dhintoh (ini atau ke sini), maka sikap tubuh sedikit membungkuk, suara direndahkan, dan bahkan isyarat dikuatkan dengan tangan kanan digenggam dan jempol dijulurkan ke arah tertentu.
Jika terjadi salah ucapan, salah pilihan kata, keliru sikap tubuh, maka langsung diperbaiki. Tak jarang orang tua meminta putranya mengulang kembali ucapan yang salah hingga benar. Meski diselingi sedikit bentakan; “Apa? Coba ulangi!”
Kesalahan yang sering dilakukan anak-anak adalah memilih kata yang meninggikan posisi dirinya ketika ia berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Misalnya, saat mengatakan, “Saya masih makan”, si anak bilang “Abdhinah ghi’ adhe’er.” Adhe’er itu tingkat alos alias halus yang seharusnya digunakan pada orang yang lebih tinggi. Maka, yang benar adalah ia harus bilang, “Abdhinah ghi’ ngakan.” Dalam tingkat mandhap alias kasar, ngakan berarti makan.
Beberapa sekolah dasar di Bondowoso, antara lain SD Blindungan, SD Badean, SD Cempaka Gersik pada era 1950-an hingga 1970-an menggunakan Bahasa Madura sebagai bahasa pengantar khususnya pada kelas rendah 1 – 3. Ketika itu mereka belum mengenal Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Saat itu, Bhasa Enggi-Bhunten dipraktikkan langsung di sekolah antara guru dan murid. Dengan teman, murid boleh menggunakan Bhasa Enggi-Enten (tingkat tengah) atau Bhasa Enja’-Iyah (tingkat rendah).
Pembiasaan menggunakan Bhasa Engghi-Bhunten ternyata berpengaruh terhadap perilaku sesorang, karena sambil berkomunikasi diikuti pula gestur penuturnya. Sopan santun akan terbentuk pada penuturnya. Saat menggunakan Bhasa Engghi-Bhunten tidak ada nada tinggi yang meluncur.
Ironisnya, Bhasa Engghi-Bhunten saat ini semakin ditinggalkan. Seolah, yang menggunakannya identik dengan orang jadul, orang kuno, dan kurang modern. Bahasa Indonesia lebih dipilih sebagai bahasa ibu. Akhirnya, adhap asor mulai turut terkikis di sebagian kalangan masyarakat.
Karena itu, kita perlu melestarikan Bhasa Engghi-Bhunten di lingkungan masyarakat dan menghidupkannya kembali di sekolah. Misalnya, setiap Jumat guru dan siswa wajib berkomunikasi dengan Bhasa Engghi-Bhunten. Ibarat, menyelam sambil minum air. Saat berbahasa halus, perilaku santun atau adhap ashor akan mengikuti.
- Penulis adalah guru di SMP Negeri 7 Bondowoso.