MEPNEWS.id-Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menyatakan dana haji dalam kondisi aman dan dikelola dengan Amanah. BPKH telah mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selam lima tahun berturut-turut 2018-2022. Demikian disampaikan anggota Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Prof. Dr. H.M. M.Arief Mufraini, Lc., M.Si pada Sosialisasi Pengelolaan Keuangan Haji, Sabtu (27/7/2024), di Hotel Grand Mercure Solo Baru, Sukoharjo.
Pada agenda yang diselenggarakan BPKH dan Komisi VIII DPR RI itu hadir berbagai elemen masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, biro perjalanan haji dan umrah, akademisi dan sebagainya.
Menurut Prof Arief, pengelolaan dana haji sesuai dengan amanat UU No 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Dia menegaskan asas pengelolaan keuangan haji sesuai prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan dan akuntabel.
Prof Arief menambahkan tujuan pengelolaan keuangan haji yaitu untuk kualitas penyelenggaraan ibadah haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH serta manfaat bagi kemaslahatan umat. BPIH atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan sejumlah dana yang digunakan untuk operasional penyelenggaraan ibadah haji. Sedangkan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) adalah sejumlah uang yang harus dibayar warga negara yang akan menunaikan ibadah haji.
“Pengelolaan keuangan haji aman, efisien dan likuid. Hoaks jika ada yang bilang uang haji untuk IKN dan jalan tol. Kami benar-benar memakai asas pengelolaan keuangan haji. Posisi keuangan haji saat ini pada kondisi yang sehat dan siap mendukung pelaksanaan haji,” ujar Prof Arief.
Prof Arief menambahkan pada tahun 2024 ini, DPR RI dengan Pemerintah menyepakati besaran rata-rata BPIH untuk Jemaah haji sebesar Rp 93.410.286 per jemaah, yang terdiri atas Bipih atau biaya yang dibayar langsung oleh Jemaah rata-rata Rp 56.046.172 atau sebesar 60% dari BPIH dan sisanya itu bersumber dari nilai manfaat keuangan haji sebesar Rp 37.364.114 atau sebesar 40 persen dari BPIH.
Menurut Arief, BPKH bersama dengan pemerintah dan Komisi VIII DPR RI turut mendukung dalam rasionalisasi besaran setoran awal pendaftaram haji, Bipih, serta mendorong Jemaah haji tunggu untuk mencicil setoran lunas secara bertahap agar tidak terlalu berat saat pelunasan.
“Saya yang mengusulkan agar setoran pelunasan bisa dicicil agar tidak memberatkan calon jemaah haji. Kami sangat berharap ke depan nilai manfaat yang didapatkan calon Jemaah haji bisa lebih besar. Semua butuh proses dan semoga ke depan BPKH bisa merealisasikannya,” tambah Endang.
Ia menyebutkan Komisi VIII DPR RI mendorong upaya-upaya pencegahan pidana haji dan umrah yaitu dengan sosialisasi yang massif, penguatan regulasi, penegakan hukum dan pembentukan tim koordinasi.
Endang menyampaikan, sosialisasi yang massif perlu dilakukan dengan cara integrasi program lintas Unit Eselon I, kemitraan dengan Asosiasi PPIU-PIHK dan kerjsama dengan pihak lain.
“Penguatan regulasi dilakukan dengan mengajukan perubahan UU 8 Tahun 2019 dengan memperkuat sanksi pidana bagi pihak yang melanggar regulasi haji dan umrah. Bagi yang melanggar di sana dan visanya tidak sesuai bisa dipenjara. Misal visa wisata ziarah tapi malah dipakai untuk berhaji,” kata Endang.
Ditambahkan dia, penegakan hukum dapat dilakukan dengan pemberian sanksi tegas kepada PPIU-PIHK yang melanggar, Kementerian Agama akan membentuk PPNS pada tahun 2024 ini. Upaya selanjutnya adalah pembentukan tim koordinasi pencegahan, pengawasan dan penindakan masalah umroh lintas kementerian/Lembaga.
Endang mengemukakan di dalam penyelenggaraaan ibadah haji pasti ada dinamikanya. Sebab, melibatkan banyak pihak, mengelola banyak orang, mengelola banyak uang, beragam strata social dan budaya, dilaksanakan di negeri orang dengan perbedaan Bahasa, budaya dan iklin serta dilaksanakan pada satu tempat dan satu waktu.
Moderator acara, Kasi Bimais Kemenag Wonogiri, H.Mursidi, S.Ag, M.Si berharap ada penindakan tegas kepada biro perjalanan haji dan umroh yang melanggar regulasi.