Oleh: Esti D. Purwitasari
mepnews.id – “Lin, sebenarnya, apa sih yang kau cari?” tanya saya pada teman yang ekonominya sudah mapan, fisiknya sangat oke, intelektualitasnya bagus, orientasi seksualnya normal, tapi masih melajang.
“Aku hanya ingin seseorang yang bisa benar-benar mengerti dan mendukungku.”
“Kan kau sudah bertemu banyak pria. Yang naksir kamu juga banyak. Masak tak ada satu pun yang kau rasa pas?”
“Kalau ada, saya mau pria yang quick wit, yang menantang secara intelektual, namun juga berhati lembut dan penuh pengertian. Saya bayangkan dia bisa menghormati, memahami, dan membawa saya ke puncak kesuksesan bersama.”
“Duh, Lin, tak ada yang sempurna di dunia ini. Justru adanya ketidaksempurnaan itu membuat hubungan jadi lebih memikat.”
…………
Pembaca yang budiman, teman saya di atas adalah salah satu contoh kasus toxic perfectionism (perfeksionisme beracun).
Perfectionism adalah sikap mental atau pola pikir saat seseorang menetapkan standar sangat tinggi untuk diri mereka sendiri atau orang lain, dan mengharapkan pencapaian yang sempurna atau tanpa cacat.
Orang yang mengalami perfectionism seringkali menganggap kesalahan atau ketidaksempurnaan sebagai hal yang tidak dapat diterima, dan mereka mungkin merasa tidak puas atau tidak berharga jika tidak dapat mencapai standar yang ditetapkan.
Satu sisi, perfectionism memiliki aspek positif yakni menjadi dorongan untuk mencapai yang terbaik dan meningkatkan kinerja. Tapi, ketika berlebihan atau berubah menjadi toxic perfectionism, negativitasnya jadi lebih tinggi.
Toxic itu artinya beracun. Kata ‘toxic‘ ini menyoroti dampak negatif terhadap kesejahteraan mental dan emosional. Orang bisa merasa tidak puas jika dirinya atau orang lain tidak dapat mencapai standar. Ini dapat menyebabkan tekanan berlebihan, kecemasan, depresi, dan masalah kesehatan mental lainnya.
Orang yang mengalami toxic perfectionism bisa merasa terjebak dalam siklus yang tidak pernah puas dengan diri sendiri atau orang lain, terlalu kritis terhadap diri sendiri atau orang lain. Ia bisa cemas berlebihan saat menghadapi kegagalan atau ketidaksempurnaan. Hal ini bisa merugikan diri sendiri, hubungan personal, pekerjaan, dan bahkan kesejahteraan mental secara keseluruhan.
Saat seseorang mengalami toxic perfectionism, terjadi sejumlah perubahan dalam otak yang berkontribusi pada pengalaman mental dan emosional negatif. Ada aktivasi area otak yang terkait tekanan dan kecemasan, misalnya amigdala dan korteks prefrontal dorsolateral. Ini menimbulkan kecemasan berebihan jika keinginan tidak tercapai.
Toxic perfectionism juga dapat memengaruhi sistem reward dalam otak, yang mencakup neurotransmitter seperti dopamin dan serotonin. Ketika tidak bisa mencapai standar tinggi, sistem reward merespons dengan penurunan aktivitas atau sensitivitas menyebabkan kurangnya rasa puas dan bahkan depresi.
Fungsi kognitif, termasuk kemampuan untuk berfokus, mengambil keputusan, dan menyelesaikan tugas, kadang juga terganggu sehingga mempersulit seseorang berkinerja optimal. Dan, masih banyak lagi permasalahan lain di otak akibat toxic perfectionism.
Lalu, bagaimana mengatasi masalah toxic perfectionism? Tentu butuh proses yang kompleks dan memerlukan kesadaran diri, dukungan, dan upaya berkelanjutan.
Langkah pertama adalah menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Menyadari bahwa kesalahan adalah bagian alami dari proses pembelajaran dan pertumbuhan. Menerima bahwa ketidaksempurnaan adalah hal yang normal. Kesadaran ini dapat membantu mengurangi tekanan terkait pencapaian standar yang tidak realistis.
Langkan berikutnya, cobalah menetapkan standar yang realistis dan dapat dicapai untuk diri sendiri atau orang lain. Fokuslah pada progres daripada pada kesempurnaan mutlak. Lakukan yang terbaik dalam situasi tertentu, dan tidak harus mencapai standar sangat tinggi.
Latih diri untuk merespons ketidaksempurnaan atau kegagalan dengan welas asih dan pengertian; bukannya dengan kritik keras atau kekecewaan. Ingatkan diri sendiri bahwa kesalahan adalah peluang untuk belajar dan tumbuh.
Jika toxic perfectionism sudah berlebihan sehingga mengganggu atau menghambat kehidupan sehari-hari, silakan cari bantuan profesional. Bisa pada psikolog, psikiater, terapis, konselor, atau pihak-pihak yang berwenang atau sudah terlatih, untuk membantu mengatasi masalah lebih efektif.
Mengatasi toxic perfectionism memerlukan kesabaran, latihan, dan komitmen pertumbuhan pribadi yang berkelanjutan.