Oleh: Budi Winarto
mepnews.id – Setiap sudut yang bisa menjadi alat kuasa akan menjadi ladang berkuasa. Kalimat ini tidak sesederhana susunan katanya, namun menimbukan dampak ketika sebuah kekuasaan tidak beriring amanah di dalamnya.
Dalam sistem pemerintahan, mulai dari tingkat terendah yang disebut desa sampai level setinggi negara, menjadi perebutan pihak-pihak tertentu untuk berkuasa. Ketika sudah mendapatkan kekuasaan, dia akan mati-matian mempertahankannya dengan cara apa pun, tidak peduli meski cara itu tidak dibenarkan.
Bagaimana oligarki menjadi alat?
Awalnya kita dilahirkan sama, kemudian dibuat strata, dan strata itu menimbulkan stratifikasi sosial dalam bermasyarakat. Stratifikasi sosial menciptakan sitem berlapis yang terbagi ke dalam kelas-kelas secara hirarkis, dari kaum bangsawan atau ningrat sampai kaum proletar atau rakyat rendahan.
Sistem kekuasaan di negara kita pun mungkin tidak akan pernah bisa menghilangkan oligarki sebagai alat kekuasaan. Hal ini terbukti dari sistem kerajaan, di mana kekuasaan terjadi secara turun temurun, sampai ke negara demokrasi sekarang, oligarki masih menjadi alat ampuh untuk melanggengkan kekuasaan.
Oligarki adalah akses yang bisa digunakan penguasa dengan alat kuasanya. Abuse of power adalah cara paling efektif ketika seorang pemimpin ingin mengelola kekuasaan untuk dan demi orang-orang atau kelompok kecil dengan pengaruh yang kuat di sekitarnya. Hal ini bukan hanya terjadi di tingkat paling tinggi yang disebut negara, namun di level terendah seperti desa.
Menegok sejarah para pendiri bangsa
Para pendiri bangsa sesungguhnya telah meletakkan dasar pijak untuk kebijakan para pemimpin dalam keberlanjutan pemerintahan. Dalam meletakkan dasar pijak kekuasaan, para pendiri bangsa bukan hanya memiliki kematangan berfikir, tetapi juga hati. Sendi-sendi kebangsaan mereka tidak hanya menggunakan kedalaman intelektual dan pengalaman yang luas tetapi nilai ajaran agama juga digoreskan dalam membuat falsafah sebagai dasar negara. Sehingga tidaklah heran apabila produk berupa Undang-Undang Dasar 1945 dan juga Pancasila yang dihasilkan mampu mengakomodir kepentingan berbangsa dan bernegara dengan tujuan berkeadilan demi seluruh masyarakatnya. Bukan parsial, apa lagi hanya sekedar kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Penguasa akan bisa mengendalikan sistem kekuasaan.
Seorang penguasa yang tidak memiliki integritas akan menggunakan alat kuasanya untuk mempertahankan kekuasaan. Undang-undang yang pembuatannya sebagaimana bertujuan mensejahterakan, malah mengalami deviasi dan terdestruksi oleh kepentingan. Sehingga tebang pilih terjadi. Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sektor-sektor strategis dikuasi. Imbasnya, masyarakat semakin jauh dari rasa keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan. Hal ini disebabkan karena kepentingan, dan kepentingan penguasa mengendalikan oligarki untuk melanggengkan kekuasaan.
Sistem dari penguasa yang menggunakan oligarki sebagai alat pengendali kekuasaan bisa terlihat dari bagaimana cara memimpin. Contoh sederhananya, sering kita melihat dan mendengar seorang pemimpin yang hanya ingin dilihat sisi kebaikan dan keberhasilan serta tak mau terkoreksi keburukannya. Itu bisa menjadi preseden awal pemimpin tersebut ingin melanggengkan kekuasaannya.
Padahal, ukuran keberhasilan seorang pemimpin itu, apabila sanggup memenuhi 90% dari janji politiknya, maka dia dikatakan berhasil. Oleh karenanya, janji politik itu penting sebagai barometer pertanggungjawaban atas calon pemimpin yang ingin mendapatkan keuasaan. Dari janji politik itu kemudian akan bisa kita nilai arah dan kebijakannya seperti apa. Tanpa janji, seorang calon pemimpin akan sulit dinilai berhasil atau tidak atas kepemimpinannya.
Pemimpin yang baik dapat terlihat dari rekam jejak dalam karirnya. Pemimpin yang kurang baik, untuk mengelabuhi ketidakberhasilan dalam memenuhi janji politiknya, biasanya di akhir masa jabatan pemimpin itu akan menghidupkan yang mati, suka berderma, dan membuat pencitraan lainnya.
Oleh karenanya, di saat kita ingin memilih pemimpin, jangan hanya janji politik yang dinilai, melainkan rekam jejak calon pemimpin juga harus teruji.
Oligarki sebagai alat pengedali
Oligarki akan dijadikan alat pengendali bagi kekuasaan dengan menciptakan sistem kuasa. Caranya, dengan mempengaruhi dan menjerat sistem lain untuk dikuasai dan dikendalikan. Pun dalam wajah ekonominya, oligarki bertransformasi ke praktik oligopoli-monopoli yaitu kekuatan politik power mendikte, atau dalam bahasa lain abuse of power.
Oligarki prakteknya bisa ke oligopoli dengan cara menguasai pasar beserta peran strategisnya. Selain itu, penguasa yang haus kekuasaan akan mengendalikan jaringan kelompok yang menurutnya strategis atau organisasi politik maupun kemasyarakatan. Jadi, oligarki juga bisa memiliki terminologi akan adanya sedikit individu atau kelompok yang mengatur institusi yang memiliki akses baik politik atau ekonominya.
Akibat yang ditimbulkan dari salah kaprah kekuasaan, demokrasi yang sejatinya menjadi perwakilan rakyat mengalami masalah disconnected electoral, yang terjadi keterputusan relasi antara penguasa dengan rakyatnya. Sehingga tak jarang seorang pemimpin menjadi kleptorasi di mana mereka menggunakan alat kuasanya untuk kepentingan pribadi. Menjarah kekayaan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya dengan memanfaatkan kebijakannya.
Anehnya, masyarat sebagai penentu, terkadang gampang sekali ‘dibodhi’. Bahkan, bagi mereka yang cinta buta, akan menghalalkan segala cara untuk membela atas ketidakbenaran pemimpinnya.
Banyak sekali penguasa yang takut kehilangan kekuasaan. Mereka akan berusaha melanggengkan kekuasaan dengan cara apa pun. Ketika kekuasaan dipertahankan dengan cara menjaga marwah yang dipimpin dengan keadilan dan kesetaraan timbulnya kesejahteraan. Tetapi kektika kekuasaan dipertahankan untuk kepentingan, maka akhirnya adalah kehancuran.
Oleh karenanya, ukuran seorang pemimpin dikatakan berhasil bukanlah pemimpin yang memanfaatkan oligarki demi ambisi kekuasaannya, melainkan bagaimana seorang pemimpin dengan alat kuasanya bisa mengendalikan oligarki demi kemajuan, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhannya.
Peran agama dalam kuasa
Menurut Robert Misel, hukum oligarki akan terus ketika tidak ada sitem yang baik. Di saat kita menginginkan pemerintahan yang baik, maka sistem sebagai pengendalinya harus baik. Ketika sitem baik, maka sistem akan mengendalikan pemerintahan dan bukan pemerintahan yang mengendalikan sistem.
Adapun peran ajaran agama adalah sebagai penyempurna sitem atas perilaku penguasanya. Peran agama berfungsi mengatur nilai dan norma. Seorang pemimpin yang memiliki pemahaman agama yang baik akan mengerti nilai dari sebuah norma. Bagaimana nilai keadilan harus diterapkan, selanjutnya bisa melahirkan kesejahteraan. Bagaimana juga menjadikan kesetaraan sebagai nilai dalam pemerataannya, tidak pandang bulu sehingga melahirkan kemaslahatan bersama.