mepnews.id – Belakangan istilah toxic masculinity banyak dibahas terutama di media sosial. Istilah ini merujuk pada tekanan ekstrem yang dirasakan kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu. Umumnya, itu berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada pada pria. Misalnya, keharusan seorang pria menjadi sosok yang kuat.
Toxic masculinity erat kaitannya dengan pandangan tradisional mengenai maskulinitas. “Sejak dahulu kita disosialisasikan mengenai nilai-nilai yang seharusnya melekat pada pria. Antara lain; kuat, agresif, petarung, serta pemburu. Hal ini mengarah pada menonjolnya kekuatan fisik yang dimiliki pria,” terang Dr Ike Herdiana MPsi Psikolog, dosen Departemen Psikologi Universitas Airlangga.
Sejarah mencatat penguasa pria terlihat lebih mudah memperoleh kekuasaan dengan cara menaklukkan orang lain. Pria merasa gagal jika tidak mampu mencerminkan stereotip tersebut, dan berusaha mengangkat kembali sifat-sifat maskulinnya untuk bisa bertahan hidup.
Di Indonesia, toxic masculinity masih banyak ditemui di masyarakat. Frasa-frasa seperti ‘Pria itu tidak boleh menangis,’ ‘Pria itu harus kuat, jangan lemah,’ ‘Pria itu harus melawan, jangan diem aja,’ masih kerap ada dalam kehidupan sehari-hari. “Alih-alih memberikan perhatian, itu justru bisa membuat pria menjadi merasa kehilangan harga diri dan bingung dengan kemampuan dirinya. Bahkan, toxic masculinity dapat mengganggu kesehatan mental individu,” ungkap Dr Ike.
Ia menekankan pentingnya pengendalian stigma mengenai pria guna mengatasi toxic masculinity. Penting pula membangun relasi yang sehat, saling mendukung pilihan pribadi tanpa embel-embel stereotip gender, serta memperbaiki konsep maskulinitas yang keliru.