Legenda Duka di Watu Gurit

Oleh: Dita Radiatis

mepnews.id – Bahasan yang diangkat kali ini mengenai sebuah dusun bernama Gurit dan sedikit legenda di dalamnya.

Gurit adalah dusun di dalam wilayah Desa Pengatigan, Kecamatan Rogojampi, di Kabupaten Banyuwangi. Letaknya kurang lebih dua kilometer ke sebelah barat dari pertigaan Pasar Rogojampi. Sangat strategis dan mudah dijangkau. Bisa diakses menggunakan kendaraan darat jenis apapun. Setiap warga yang akan bepergian ke Kecamatan Songgon, bila melalui jalur Pasar Rogojampi, pasti melewati Dusun Gurit.

Bila ditelisik secara geografis, Dusun Gurit dulu termasuk daerah perbukitan atau biasa disebut gumuk oleh masyarakat lokal. Tentunya ini bisa dilihat secara jelas sebelum adanya gedung dan bangunan yang menutupi gumuk di masa sekarang. Relief tanahnya berupa bebatuan (rejeng) untuk wilayah Gurit saja. Hal ini membuat penduduk tidak bisa mengebor sumur sebagai sumber air kebutuhan sehari-hari. Maka dari itu, mayoritas penduduk menggunakan air dari PDAM atau sungai.

Dari sisi perekonomian, Dusun Gurit bisa dibilang sebagai kawasan perniagaan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Masyarakatnya memilih berwirausaha sebagai mata pencaharian utama. Itu dibuktikan dari banyaknya toko besar ataupun warung kaki lima yang berjajar di sepanjang jalan. Beraneka ragam dagangan ditawarkan.

Khusus pada waktu tertentu seperti malam Jumat Legi atau beberapa hari menjelang Ramadan dan menjelang Idul Fitri, masyarakat Gurit berlomba-lomba menjual kembang kirim. Rangkaian bunga ini biasa dipakai masyarakat untuk nyekar ke makam dan menjadi salah satu ritual yang masih lekat di masyarakat Rogojampi dan sekitarnya. Dusun ini pula yang mempelopori sentra perdagangan kembang kirim.

Nama ‘Gurit’ tak terlepas dari legenda yang disampaikan dari tutur ke tutur oleh masyarakat sekitar. Dahulu kala, ada tokoh bernama Ki Dalang Samad yang pertama kali membabat hutan untuk membuka lahan di kawasan itu. Tokoh ini dikenal sebagai ahli dalam melakukan lakon pewayangan.

Tempat Ki Dalang Samad beserta gamelannya dimakamkan.

Ketika sedang guguritan sembari memainkan wayangnya di suatu pementasan, tiba-tiba terjadi keributan. Hal buruk tak terelakkan menimpa Ki Dalang Samad. Ia terbunuh oleh sebilah keris yang tepat menghujam di dadanya. Lalu, Ki Dalang Samad beserta peralatan gamelannya dimakamkan di tempat ia guguritan.

Tempat pemakaman ini kemudian dikenal sebagai Watu Gurit. Untuk menghormati jasanya sebagai orang yang membuka daerah tersebut, lokasi itu dinamai Dusun Gurit.

Tak lepas dari hal tersebut, di Watu Gurit pun ada ritual khusus yang dulunya selalu dilaksanakan oleh penduduk asli Dusun Gurit. Bisa dibilang, setiap akan melakukan hajatan besar seperti pernikahan dan semacamnya, penduduk asli Gurit mengadakan kegiatan selamatan bersama. Mereka mengundang tetangga agar turut hadir.

Tujuan acara itu adalah meminta izin pada leluhur Dusun Gurit untuk ikut andil dalam hajatan. Mereka percaya jika mengajak leluhur di sana untuk bekerja sama, maka hajatan yang akan dilaksanakan bisa berjalan lancar. Hal ini dilakukan bukan karena syirik, tapi sebagai rasa hormat. Sebagai penduduk asli yang baru dan masih muda, mereka harus menghargai penghuni asli yang dulu pernah ada.

Sajian yang mereka bawa dalam selamatan di Watu Gurit terdiri dari nasi, krawu (urap-urap sayuran dan kelapa yang diberi bumbu kemudian dikukus), tahu-tempe kare atau tahu-tempe bacem, telur rebus, ikan, dan ayam. Minumnya berupa teh, kopi, dan air putih. Bebungaan empat warna ikut mendampingi. Merah diwakilkan oleh mawar, hijau oleh kenanga, kuning oleh kantil kuning, dan putih oleh melati. Juga sedikit wewangian dari dupa bakar.

Makanan harus dilahap hingga habis di tempat. Tidak boleh ada yang membawa pulang walau hanya sebutir telur. Jika ada yang melanggar, yakni makanan tidak habis atau ada yang membawa pulang, maka hajatan tidak akan berjalan lancar. Biasanya, cuaca buruk terus menghantui acara.

Semakin berjalannya waktu, tradisi tersebut mulai terkikis. Beberapa faktor menjadi penyebabnya. Yang paling utama adalah banyaknya penduduk pendatang baru yang tak tahu menahu tradisi di tempat ini. Kedua, kurangnya tutur atau cerita yang diwariskan para sesepuh pada generasi muda mengenai Watu Gurit. Ketiga, pemikiran-pemikiran pemuka agama yang mengalami regenerasi dan semakin modern. Mereka menganggap hal tersebut ‘agak menyimpang’ dari aturan agama.

Namun, masih ada sebagian penduduk yang meyakini pepatah mengenai Watu Gurit, “Bila ada penduduk asli Gurit yang merantau akan melakukan hajatan di tempat rantau, mereka pasti kembali atau meminta tolong pada keluarga yang tinggal di Gurit untuk selamatan di Watu Gurit. Jika tidak, para leluhur tak akan memberikan izinnya juga.”

Sebenarnya sangat disayangkan bila tempat dan tradisi ini menghilang disebabkan kurangnya kepedulian masyarakat untuk melestarikan. Watu Gurit bisa saja dijadikan destinasi untuk generasi muda agar lebih mengenal cerita Dusun Gurit.

Semoga saja informasi ini bisa sedikit memberi wawasan lebih mengenai dusun yang hanya dilewati oleh masyarakat tanpa tahu bagaimana asal-muasalnya. Satu hal yang pasti, Watu Gurit tak akan pernah bisa dipisahkan dari sejarah Dusun Gurit.

Gurit, 15 Februari 2022. 00.44 WIB

 

Facebook Comments

Comments are closed.