Oleh: Anisatul Ulfa SPd.SD
mepnews.id – Mendengar kata ‘Songgon’, mungkin terasa sedikit asing bagi sebagian orang. Namun, jika kata ‘Rowo Bayu’, pasti banyak orang yang merasa familiar. Padahal, Rowo Bayu itu berada di wilayah Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi.
Ya… Rowo Bayu lebih dikenal karena belakangan ini sering dikait-kaitkan dengan latar peristiwa mistis ‘KKN di Desa Penari’. Padahal, rawa ini sebuah telaga di tengah hutan di kaki Gunung Raung yang berhawa sejuk, dengan air berwarna hijau, dan dikelilingi pohon-pohon pinus yang menenangkan hati.
Tapi, kalau Rowo Bayu dihubung-hubungkan dengan mistis, mungkin juga ada penjelasannya. Berikut ini beberapa peristiwa yang melatar-belakanginya.
- Rowo Bayu dan Puputan Bayu
Rowo Bayu menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Blambangan yang dipimpin Rempeg Jogopati saat melawan penjajah VOC. Pertempuran sampai titik darah terakhir itu dikenal sebagai Puputan Bayu. Sebagai pertanda, kini di pintu masuk Dusun Bayu terdapat tetenger tempat berlangsungnya perang tersebut. Perang ini juga menjadi cikal bakal lahirnya Kabupaten Banyuwangi.

Prasasti penanda Puputan Bayu.
Mengutip tirto.id, bukan Perang Jawa atau Perang Aceh yang paling meninggalkan trauma mendalam bagi orang Belanda selama menduduki wilayah Nusantara. Satu pertempuran besar yang membuat mereka kewalahan adalah Perang puputan Bayu. Cornelis Lekker (1923) mengakui hal itu dalam buku Blambangan, Indische Gids II. Ia menyebut Puputan Bayu Di Banyuwangi adalah perang paling menegangkan, kejam, dan banyak memakan korban dari semua peperangan yang dilakukan VOC atau Belanda di Indonesia (hlm. 1056).
Perang pada tahun 1771 ini memakan korban jiwa amat banyak. Dari 65 ribu penduduk, tersisa 5 ribu saja. Pihak Belanda juga mengeluarkan biaya banyak. Biayanya setara 80 ton emas. Juga, 10 ribu personel militer dikerahkan untuk perang ini.
Peristiwa Puputan Bayu 18 Desember 1771 itu diperingati sebagai tonggak sejarah lahirnya kota Banyuwangi. Maka, 18 Desember dikenal dengan sebutan HARJABA (Hari Jadi Banyuwangi). Untuk mengenang perjuangan tokoh dan laskar Blambangan, setiap tanggal tersebut diadakan renungan suci dan istigosah yang diikuti jajaran Pemerintah Daerah Banyuwangi, tokoh agama, tokoh pendidikan dan masyarakat setempat.
Acara dilanjutkan keesokan harinya dengan napak tilas Puputan Bayu. Dalam kegiatan itu, peserta disuguhkan drama perang yang diperankan warga sekitar Rowo Bayu dan upacara tradisi ‘Ngarak Pusoko‘. Namun, pada masa pandemi COVID-19, perayaan tidak dilaksanakan, digantikan selamatan yang digelar sederhana. Sayang sekali.
Meski demikian, Rowo Bayu senantiasa menjadi saksi bisu sejarah dan selalu menyimpan banyak misteri yang sering mengundang penasaran para pemburu mahkluk tak kasat mata untuk menguak kejadian-kejadian di luar nalar.
- Rowo Bayu, Sang Prabu dan Mata Air
Berjalan mengelilingi Rowo Bayu dipercaya dapat mengukur sifat seseorang. Berdasarkan cerita masyarakat, jika seseorang berhasil mengelilingi rawa tanpa istirahat maka ia diyakini sosok yang tangguh dan tidak mudah putus asa dalam menjalani hidup. Namun, jarang sekali orang bisa berkeliling telaga itu tanpa berhenti.

Petilasan Prabu Tawang Alun.
Di sudut barat terdapat tempat yang mengundang penasaran dan beraura mistis. Bangunan ini konon tempat semedi (petilasan) Sang Prabu Tawang Alun bersanding dengan mata air sangat sejuk dan jernih. Mata air tersebut mengalir mengisi Rowo Bayu sepanjang waktu. Meski musim kemarau, airnya tak pernah kering.

Penulis bersama Pak Saji juru kunci petilasan.
Pak Saji, sang penjaga petilasan, mengisahkan laku bathin Prabu Tawang Alun. Untuk menghindari perang saudara perebutan singgasana Kerajaan Kedawung, Sang Prabu memilih menyerahkan tahta kepada adik-adiknya. Lalu, beliau pergi ke arah barat menuju hutan di kaki Gunung Raung mencari ketenangan. Sampailah di telaga yang tenang.
Di sini, Sang Prabu memulai pertapaan meminta petunjuk. Akhirnya, turunlah wangsit yang menyuruhnya melakukan perjalanan ke arah utara-timur ditemani seekor macan putih untuk mendirikan kerajaan. Kelak, itu dikenal dengan sebutan Kerajaan Macan Putih yang saat ini ada di Kecamatan Kabat.
Tempat semedi Sang Prabu ini sekarang menjadi tempat sakral di Rowo Bayu. Dalam bangunan sakral itu terdapat batu berbungkus kain hitam bersandingkan payung. Di sekeliling batu, bertebaran sesaji dan bunga aneka rupa. Asap dupa selalu mengepul menebar wangi memenuhi ruangan yang tertutup tak berjendela.
Menurut Pak Saji, banyak pengunjung lokal maupun luar daerah dengan berbagai permasalahan datang meminta petunjuk di dalam petilasan ini. Tak sedikit yang berhasil mendapatkan apa yang menjadi keinginan mereka. Petunjuk tersebut didapatkan dari bisikan atau mimpi. Bahkan, ada seorang pengunjung membangun musholla di sebelah petilasan sebagai wujud terimakasih telah terbebas dari permasalahan hidup yang ia hadapi.
Di sekitar petilasan terdapat lima mata air sebagai sumber bagi Rowo Bayu. Mata air Taman Kaputren dan Dewi Gangga ada di sebelah selatan petilasan. Mata air Rahayu, Panguripan, dan Sumber Kamulyan, berada tepat di belakang petilasan.
Air dari Sumber Kamulyan dipercaya bisa membantu mengobati berbagai penyakit. Airnya juga digunakan sebagai sarana bagi pengunjung yang mengadakan ritual serta dianggap sebagai air suci bagi umat Hindu. Biasanya, umat Hindu mengambil air dari Sumber Kamulyan untuk ritual melasti (menyucikan diri) pada Hari Raya Nyepi.

Mata air Sumber Kamulyan.
Apakah pernah terjadi kejadian di luar nalar di sekitar petilasan?
Pak Saji mengaku tidak pernah mengalami sendiri. Namun, pengunjung yang mengadakan ritual dengan tingkatan ‘di atas rata-rata’ akan mengalami hal-hal tersebut. Bentuknya bermacam-macam. Ada yang berupa bisikan petunjuk, suara auman harimau, serta isyarat lewat mimpi. Isyarat itu bisa menyertai ketika ritual persemedian atau setelahnya. Wangsit yang mereka dapatkan akan dilaksanakan guna mencapai apa yang menjadi keinginan para pengunjung tersebut.
Bagi orang umum, Petilasan Sang Prabu dan mata air yang mengelilinginya merupakan wisata religi yang bisa dikunjungi berbagai umat lintas agama. Para wisatawan bisa mengalami dampak berbeda-beda sesuai keadaan hati masing-masing.
- KKN Desa Penari
Viralnya ‘KKN di Desa Penari’ membawa dampak positif bagi Wanawisata Rowo Bayu. Cerita yang ditulis pemilik akun twiter Simple Man serta unggahan foto petilasan di Rowo Bayu, membuat warga net menduga-duga setting dari cerita tersebut adalah di Wanawisata Rowo Bayu yang setiap sudutnya beraura mistis.
Dikutip dari Suara.com, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur SUNARTO (2019) mengaku senang dengan viralnya dugaan lokasi cerita tersebut di media sosial yang membawa keuntungan bagi pariwisata di Banyuwangi. Masyarakat yang cenderung penasaran berbondong-bondong ke sana. Destinasi wisata mistis masih digemari wisatawan Indonesia.
Pro dan kontra tentang benar-tidaknya keaslian kejadian dalam cerita tersebut membuat banyak masyarakat beralih profesi menjadi detektif. Banyak YouTuber mengadakan penelusuran di sekitar Rowo Bayu. Apa lagi di sebelah barat dari wisata ada bangunan sisa-sisa perkampungan penduduk yang bertahun-tahun ditinggalkan penghuninya. Di sana juga terdapat lukisan atau gambar ular yang hampir sama dengan apa yang diceritakan dalam cerita tersebut.
Setelah dunia maya ramai oleh pemberitaan yang menghubung-hubungkankan Rowo Bayu dengan cerita ‘KKN di Desa Penari’, pemilik akun twiter Simple Man angkat bicara. Ia menepis dugaan-dugaan yang berkembang kala itu. Maka, sampai sekarang, lokasi yang sempat viral itu tetap menjadi rahasia penulis cerita.
Terlepas dari hal tersebut, Wanawisata Rowo Bayu sempat viral dan mengundang penasaran sehingga menjadi ramai dikunjungi wisatawan. Kini, Rowo Bayu tetap tenang, tersenyum di antara rerimbunan pepohonan tua yang setia berdiri di sekitarnya.
Kita tak pernah sepenuhnya tahu ada apa di balik keindahan Rowo Bayu yang sarat aura mistik. Ada rasa yang tak biasa di sana. Biarlah semua ini tetap menjadi misteri yang mengundang penasaran hati.
- Penulis adalah guru di SD Negeri 3 Songgon, Banyuwangi.