Budaya Kawin Colong di Kemiren

Oleh: Ikas Sulianto S.Pd.

mepnews.id – Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang serta diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit; termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, kesenian, perkakas, pakaian, dan banguan rumah atau gedung. Budaya merupakan ciri khas suatu daerah atau bangsa. Suatu bangsa akan berharga bila memiliki budaya yang senantiasa dilestarikan.

Budaya adalah perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasi oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. Citra yang memaksa mengambil bentuk berbeda dalam berbagai budaya. Citra budaya yang bersifat memaksa, membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan kerangka koheren untuk mengorganisasi aktivitas seseorang dan memungkinkan meramalkan perilaku orang lain.

Salah satu bentuk budaya adalah adat pernikahan. Ini merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh pria dan wanita dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu.

Setiap daerah memiliki tradisi dan budaya pernikahan tersendiri. Begitu juga dengan Desa Kemiren di Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Di desa ini ada budaya perkawinan yang disebut ‘kawin colong‘.

Dalam istilah Bahasa Indonesia, budaya ini lazim disebut kawin lari. Anak gadis dilarikan oleh seorang lelaki untuk dinikahi. Antara gadis dan lelaki ini sebenarnya ada unsur suka sama suka. Namun, karena ada berbagai faktor, maka tindakan kawin colong harus dilakukan. Pada akhirnya, kedua pihak mempelai bisa saling menerima. Tetapi, bisa juga pihak mempelai pria dipidanakan apabila pihak mempelai wanita tidak bisa menerima.

Sejarah Kawin Colong

Menurut Samsul S.Pd., tokoh masyarakat Desa Kemiren, kawin colong sudah terjadi sejak lama. “Sejak zaman kakek buyut saya, tradisi itu sudah ada. Kejadiannya sesekali ada sampai sekarang.”

Awalnya masyarakat Desa kemiren, terutama generasi tua, sering melakukan kawin paksa kepada anak-anaknya. Hal ini dilakukan orang tua agar putrinya segera menikah dan memiliki keturunan. Pada saat itu, kaum perempuan harus menurut dan tidak boleh membantah kemauan orang tua. Selain itu, anak perempuan tidak ingin dianggap durhaka kepada orang tua.

Ketika akan dinikahkan, si wanita biasanya tidak mengenal sama sekali calon suaminya. Secara mendadak mereka dipertemukan dalam ikatan perkawinan. Sering didapati, usia antara memperlai wanita dengan mempelai pria terpaut sangat jauh.

Kebanyakan mempelai wanita berusia masih sangat muda saat dinikahkan. Kebanyakan hanya mengenyam pendidikan dasar, hanya lulus SD. Mempelai pria kebanyakan hanya lulusan SMP. Mayoritas pekerjaan mereka bertani hasil pemberian dari orang tua masing-masing.

“Masyarakat Desa Kemiren itu umumnya berprofesi sebagai petani. Lahan mereka sangat luas. Begitu anak-anak menikah, lahan pertanian langsung diberikan untuk digarap agar dapat menghidupi keluarga baru mereka,” kata Samsul.

Seiring meningkatnya taraf berpikir masyarakat, terutama kaum muda yang telah mengenal dunia luar desa, semakin sering pula terjadi pertentangan pemikiran antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua masih ingin melestarikan perjodohan untuk anak-anaknya, sedangkan sang anak ingin menentukan jodohnya sendiri.

“Anak-anak, yang sudah mengenal sistem pacaran, ingin mencari sendiri calon pasangan hidupnya. Mereka beranggapan, kebahagian ada di tangan mereka sendiri bukan di tangan orang tua,” kata Samsul.

Pertentangan-pertentangan itu kemudian memunculkan cara kaum muda agar pihak orang tua tidak lagi memaksakan anaknya menikah dengan pilihan orang tua. Mereka menikah secara diam-diam setelah anak gadis melarikan diri ke rumah pacarnya atau sang lelaki menjemput sang perempuan secara sembunyi-sembunyi kemudian melarikannya ke rumah pihak lelaki. Dari sini kemudian muncul kawin colong.

Setelah sang lelaki melarikan si gadis, keluarga lelaki mendatangi keluarga perempuan. Namun yang datang bukan orang tua kandung sang anak lelaki, melainkan kerabatnya. Mereka memberitahukan kepada keluarga pihak perempuan bahwa anak gadisnya telah lari dan menginap di rumah pihak lelaki.

Saat menyampikannya, si kerabat tidak secara langsung. Mereka menggunakan simbol dengan istilah ‘pitik babon‘ (ayam betina). “Isun arep ngomong. Iro duwe pitik babon mabur nang petarangan isun. Pitik iro wis sewengi ono nang petarangan isun. Kelendi ikai?” (Saya mau bicara. Anda punya ayam betina yang terbang ke kandhangku. Ayammu sudah semalam menginap di kandangku. Bagaimana ini?)

Dialog tersebut menunjukkan bahwa sang gadis sudah menginap di rumah sang lelaki. Tujuan pemberitahuan ini juga sebagai tanda bahwa pihak lelaki ingin agar kedua anak tersebut segera dinikahkan. Inilah yang kemudian memunculkan kawin colong di Desa Kemiren.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kawin colong;

  1. Ingin memberontak terhadap tradisi kawin paksa

Hal ini terjadi karena anak ingin agar orang tua tidak selalu menjodohkan ia dengan orang yang tidak dikenal. Sebab ia belum tentu suka dengan calon yang dijodohkan dengannya. Selain itu, karena kini rata-rata tingkat pendidikan kaum muda sudah maju dan tinggi, mereka ingin menentukan jalan hidup sendiri, termasuk dalam hal mencari pendamping hidup.

  1. Ingin mengunggulkan kekayaan

Ini terjadi jika ada orang yang sangat kaya di desa menyukai seorang gadis, namun orang tua sang gadis tidak setuju. Akhirnya, dengan kekayaannya, dia mencuri gadis tersebut melalui orang lain. Ini dilakukan untuk menunjukkan kepada pihak gadis bahwa kekayaan adalah segalanya. Dengan kekayaan, apa pun yang dia inginkan akan bisa diraih.

  1. Adanya unsur kebanggaan dari sang lelaki

Hal ini dilakukan oleh lelaki yang bisa mengambil calon istri orang atau melarikan anak gadis orang terpandang (tokoh masyarakat) di desa tersebut. Apabila berhasil melakukannya, maka ini akan menjadikan kebanggaan bagi si lelaki itu.

  1. Agar hak waris tidak jatuh ke pihak lain

Ini terjadi apabila seorang gadis sudah memiliki calon, namun ada pihak lain yang juga menyukai sang gadis. Biasanya pihak yang menyukai itu masih ada ikatan keluarga. Oleh karena itu, pihak lelaki yang masih kerabat dan menyukai sang gadis akan berusaha melarikannya. Kerabat tersebut tidak ingin sang gadis menikah dengan orang lain yang bukan dari kalangan kerabat karena dikhawatikan hak waris dari sang gadis akan jatuh ke suaminya yang bukan dari kalangan keluarga atau berasal dari lain desa.

  1. Tidak suka dengan calon suaminya

Dalam hal ini, sang gadis sudah memiliki calon sendiri namun orang tua tidak setuju dengan calon suami pilihan gadisnya. Lalu, sang gadis meminta pacarnya untuk melarikan dirinya. Dengan cara demikian, harapannya adalah orang tua sang gadis akan menyetujui dan sang gadis dapat menikah dengan calon pilihannya sendiri.

Seiring perkembangan zaman dan tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi, serta kemajuan teknologi, tradisi kawin colong di Desa Kemiren kini sudah hampir pudar. Bahkan, tradisi ini sekarang jarang terjadi. Namun, pernikahan di kalangan kerabat sendiri masih sering dijumpai di desa ini.

 

  • Penulis adalah guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Glagah, Banyuwangi.

Facebook Comments

Comments are closed.