Oleh: Yazid Mar’i
mepnews.id – Boti, begitu panggilanya sehari-hari. Namanya mengingatkan kita pada legenda di Cina tentang anak yang diasuh dan dibesarkan srigala sehingga membuatnya menjadi sosok buas dan berkekuatan super, namun lambat-laun menjadi sosok humanis setelah bertemu wanita yang menginspirasinya.
Boti yang ini bukan legenda. Ia dilahirkan dari rahim manusia perempuan, namun diasuh dan dibesarkan oleh media sosial, kadang disusui sapi, kadang kambing. Itu karena kedua orang tuanya terbilang super sibuk. Ibunya bekerja di bank swasta, ayahnya wakil rakyat yang sudah dua periode menjabat sebagai anggota DPRD.
Sejak balita Boti diasuh bergantian oleh para pembantu dengan latar belakang pendidikan dan agama pas-pasan. Bagi pembantu, yang terpenting Boti tidak rewel dan menangis. Maka gadget, menjadi teman kesehariannya. Gadget menjadi teman mencurahkan keinginan besarnya sebagai anak yang tengah menuju perkembangan seluruh potensi secara maksimal, yang dalam istilah dunia pendidikan disebut usia emas (golden age).
“Bu, Boti ngamuk,” begitu teriak beberapa anak menuju ruang guru. Padahal waktu istirahat baru berjalan 10 menit.
Ibu guru meminta Pak Umar mengatasi prahara siang itu karena hanya dia yang mampu mengendalikan persoalan amarah Boti. “Pak, anakke jenengan ngamuk. (Pak, anakmu mengamuk),” begitu biasanya ucap bapak atau ibu guru pada Pak Umar.
Boti sedang menatap dengan mata merah dan tangan mengepal. Gigi serinya mengatup kuat seperti tengah menggigit sesuatu yang keras. Jika sudah demikian, jangan coba-coba mengganggunya. Tendagannya berkekuatan lima kali lipat anak-anak pada umumnya atau setara dua kekuatan orang dewasa.
Tanpa kekerasan, Pak Umar mengusap kepala Boti. Ia lalu memangku dan merangkul Boti seperti membagikan kasih sayang pada putra atau putrinya sendiri.
“Boti, mengertilah! Di antara sekian murid di sekolah ini, kamu adalah anak yang istimewa di mata Bapak. Kamu sudah Bapak anggap sebagai anak sendiri. Jika ada sesuatu, sampaikan saja pada Bapak. Bapak akan senang mendengarnya,” begitu ungkapan kasih sayang Pak Umar kepada Boti.
Berangsur-angsur kemarahan Boti mereda. Sekujur tubuhnya mendingin, kedua matanya mengucur mengiringi isakan lirih tangisnya, sambil berkata terbata-bata, “Aku pinjam HP Yudha, tapi tidak boleh, Pak!”
“Lalu?” tanya Pak Umar.
“Yudha saya kejar, Pak. Karena dia lari, saya lempar batu. Kepalanya kena deh Pak, meski larinya jauh.”
“Terus, bagaimana persaanmu?” tanya Pak Umar.
“Puas, Pak,” jawab Boti.
“Tahu, tidak? Apa yang Boti lakukan itu luar biasa. Boti jago melempar. Tetapi, sayang, apa yang Boti lakukan itu kurang tepat. Harusnya Boti biarkan Yudha lari. Nanti, jika sudah bosan, tentu Yudha akan menghampirimu dan meminjamkan HPnya,” ucap Pak Umar dengan lembut.
Kemudian, Pak Umar berkata lagi, “Boti, Bapak ingin mengembangkan bakatmu. Siapa tahu nanti akan bermanfaat bagimu. Besuk, saat jam istirahat, Boti ikut Bapak ke halaman belakang.”
“Oke, Pak.”
Meski jawaban muridnya itu kurang sopan, Pak Umar sangat paham. Selama ini Boti memang kurang berkomunikasi dengan manusia, lebih banyak dengan gadget-nya. Karenanya, tidak sedikit pun perasaan jengkel atau marah ada di hati Pak Umar. Rupanya, karakter ini lah yang membuat Boti seperti menemukan ayah pengganti ayahnya.
Meski lambat, Boti mulai ada perubahan perilaku ke arah yang baik. Sejak Pak Umar mengalihkan bakat melemparnya dengan latihan lempar lembing, lempar cakram, dan tolak peluru, Boti pun tumbuh dan berkembang sesuai potensinya. Ia sering mewakili sekolahnya dalam Porseni kabupaten. Bahkan ia jadi atlet lempar mewakili kabupaten dalam ajang porseni tingkat propinsi.
Karena cinta, kasih sayang, serta ketulusan Pak Umar, kini Boti kembali menjadi manusia.
Kopi Gerdu Suto, 25 Januari 2021
- Penulis adalah aktivis literasi dan guru di MI Salafiyah Prambontergayang, Kabupaten Tuban.