Oleh: Mulyadi
mepnews.id – Ada istilah Jawa yang menyebut guru sebagai ‘iso digugu lan ditiru.’ Artinya guru harus bisa dipercaya dan menjadi contoh bagi siapa saja. Guru harus mampu menjadikan dirinya sebagai panutan. Apa yang diucapkan harus benar, dan layak menjadi contoh bagi lingkungan sekitarnya. Tidak hanya teladan bagi murid–muridnya di sekolah atau madrasah, melainkan juga di lingkungan dia berada. Guru harus menjadi pribadi yang perfect layaknya ‘koco benggolo‘. Setiap yang dilakukan guru identik dengan hal-hal yang benar dan bagus mencerminkan kemuliaan profesinya.
Sekarang, guru menjadi profesi idaman dan bahkan idola. Banyak kalangan melirik profesi ini, dan tidak jarang yang iri. Dengan adanya tunjangan profesi, guru menjadi amat memikat. Tak sedikit lulusan SLTA yang menjatuhkan pilihan pada Sekolah Keguruan. Ini tentu angin segar bagi dunia pendidikan.
Sepuluh atau 20 tahun lalu, banyak anak muda enggan dengan profesi guru. Mereka lebih melirik profesi lain yang dianggap lebih bergengsi dan lebih menjanjikan. Hanya sebagian kecil alumni SLTA (SMA/Aliyah sederajat) yang mau meneruskan ke sekolah keguruan. Itu pun bukan pilihan utama. Karena gagal di sana–sini, terakhir menjatuhkan pilihan pada sekolah keguruan. Yang dari keluarga guru, pasti tahu bagaimana kesejahteraan guru kala itu.
Padahal, menjadi guru adalah pilihan yang harus disyukuri dan tentu dibanggakan. Ketika sudah menjatuhkan pilihan, maka harus loyal dan total. Dengan segala yang didapatkan, guru wajib bekerja maksimal. Segala tugas dan tanggung jawab harus dilaksanakan sebagai bentuk pengabdian. Jangan sekali–kali itu menjadi beban, apalagi sampai menjadi keterpaksaan. ‘Jadilah guru yang baik, atau tidak jadi guru sama sekali.’ Itu semboyan yang harus menjadi cambuk dan motivasi bagi guru untuk bekerja dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Menjadi guru yang baik itu memang tidak mudah, tapi juga jangan dibuat sulit. Untuk bisa mengajar, syarat utamanya jelas yaitu berijasah sarjana strata satu (S1), diutamakan dari keguruan. Selain itu, wajib memiliki ‘SIM mengajar’ berupa Akta IV. Kelayakan guru juga dibuktikan dengan Setifikat Pendidik. Jadi, profesi guru bukan main–main. Tidak sembarang orang bisa mendapat sebutan guru. Ini profesi bergengsi yang tidak setiap orang bisa menyandangnya, kecuali telah memenuhi beberapa syarat di atas.
Untuk bisa profesional dan handal, guru dituntut menguasai empat kompetensi dasar yakni profesional, pedagogik, kepribadian dan sosial. Kompetensi profesioanal adalah kemampuan meguasai materi pembelajaran, memahami dan menguasai materi yang diajarkan pada peserta didik. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola dan memahami dinamika proses pembelajaran di kelas. Guru harus memahami karakter anak–anak didiknya sehingga mampu mengkondisikan kelas dan pembelajaran dengan baik. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan menunjukkan sikap dan pribadi yang baik, yang layak ditiru dan dipatuhi. Kompetensi sosial adalah kemampuan berinteraksi, bergaul dan berkomunikasi terhadap lingkungan dengan baik. Ini dapat dilihat dari pergaulan dengan sesama guru, dengan siswa ataupun dengan masyarakat. Keempat kompetensi dasar ini mutlak harus dimiliki sehingga layak disebut guru profesional. Niscaya, citra guru benar–benar nampak. Predikat patut digugu dan ditiru bukanlah isapan jempol belaka.
Di lingkungan masyarakat, guru sering dijadikan public figure. Dianggap sebagai tokoh protagonist, di mana semua tindakan dan perbuatanya selalu benar dan layak ditiru. Dianggap sebagai sosok serba bisa, sehingga sangat mendapat tempat. Tak sedikit guru juga menjadi ketua RT, ketua RW, ataupun merangkap jadi ketua atau anggota BPD. Ada juga guru yang diminta jadi khotib, menjadi ketua takmir masjid. Ada guru yang diminta menjadi ‘pasrah manten‘ atau ‘trimo manten‘. Bahkan, karena dekat dan baik dengan masyarakat, ada guru diminta menjadi petinggi atau kepala desa.
Guru benar–benar dianggap sebagai sosok yang multi talenta dan serba bisa di masyarakat. Karena itu, guru harus benar–benar mampu menjaga marwah dan kewibawaan profesi dengan baik. Jangan sampai predikat sebagai sosok yang bisa digugu lan ditiru menjadi hilang karena keteledoran.
Penulis adalah guru MI Salafiyah Banjarrowo, Bangilan, Tuban