Oleh: Moh. Husen
mepnews.id-Di suatu malam selepas hujan, ketika tiba giliran seorang penikmat kopi hitam harus ngomong apa saja bebas dan terserah, dia spontan menyampaikan kepada teman-temannya dengan kalem.
Bahwa sekarang ini sudah tidak ada lagi orang yang mampu menasehati orang lain. Artinya orang sudah sulit dinasehati. Maka siapapun kita, sebesar apapun dosa-dosa kita, segelap apapun kehidupan kita, jangan pernah sungkan atau ragu meminta petunjuk kepada Tuhan agar tidak semakin gelap.
Omongan si penikmat kopi hitam mengalir saja. Semua yang hadir ngopi malam itu dipersilahkan ngomong apa saja. Bertukar pikiran. Berbagi pandangan. Atau apa saja yang memungkinkan manusia untuk berkembang dan tumbuh lebih baik.
Semua manusia mengaku dirinya sedang berproses. Dan harus kita iya-kan. Biar pun pemabuk, jangan dianggap tidak mengerti bahwa shalat itu baik dan diperintahkan untuk dikerjakan. Akan marah jika terhadap manusia yang kakinya pincang kita bilang: “Si Pincang apa kabar?”
Kita ini terkadang pelit pujian. Sukanya mengutuk orang terus. Memuji orang tidak harus nunggu ia rajin shalat lima waktu. Pokoknya dia manusia, senangkan dia, puji dia, dan jangan dihina-hina. Beri apresiasi. Lihat dan temukan selalu sisi baiknya sebagai kendaraan kita untuk memujinya dan menyenangkan hatinya.
Apa yang disebut orang sebagai kegagalan, kesalahan, belum sukses, dan sejenisnya, sesungguhnya semuanya itu sekadar sebuah terminal hari ini. Terminal sekadar tempat singgah sementara guna melanjutkan perjalanan yang senantiasa di setiap perjalanan selalu memungkinkan manusia mengalami perubahan demi perubahan.
Di akhir giliran ngomongnya itu, si penikmat kopi hitam menyampaikan kisah pengembala kerbau yang sedang tidur-tiduran santai di bawah pohon yang rindang seraya berkata: “Ya Allah, aku ingin memijit-mijit-Mu…”
Nabi Musa kebetulan lewat dan langsung bilang: “Hai penggembala, jangan bilang begitu. Nggak sopan bilang gitu kepada Allah…”
Allah langsung menegur Nabi Musa: “Hai Musa, apakah engkau berhak menghalangi hamba-Ku yang sedang mencintai-Ku dengan bahasanya masing-masing sesuai kemampuannya dan sebisa-bisanya…”
“So, cara mencintai Allah tiap orang beda-beda. Bahasanya penggembala kerbau dan tukang ngopi jangan dituntut harus sama seperti bahasa kaum akademisi dan intelektual,” kata penikmat kopi hitam mengakhiri omongannya, yang kemudian disambung dengan teman yang lain lagi yang ingin ngomong.
(Banyuwangi, 9 Maret 2021)