Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id – Bila bertemu dan berpapasan dengan teman yang agak khusus, rata-rata dari mereka bergurau: “Mana tulisannya? Kok sekarang nggak muncul?” Hal ini bukan karena tulisan saya bagus atau apa. Akan tetapi ya karena saya menulis. Bahasa asli mereka mungkin begini: “Mana tulisanmu yang nggak jelas itu? Kok sekarang nggak muncul?”
Jaman kita sekolah dulu, biarpun ada guru yang tidak enak ngajarnya, tetap saja beliau disebut guru. Makanya, dengan beberapa teman ngopi saya pernah bergurau: “Kalau ada orang sudah terlanjur dipanggil ustadz, biarpun dia rajin shalat malam dan ilmunya meningkatkan pesat, tetap saja dia panggil ustadz. Orang tak memanggilnya kiai karena sudah terlanjur sejak awal dipanggil ustadz. Begitulah nikmatnya disembunyikan.”
Dalam hidup yang penuh senda gurau ini, sungguh banyak sekali nikmat dari Tuhan yang tak bisa dihitung. Biarpun hidup kurang begitu jelas, akan tetapi jika pagi-pagi kita masih bisa menghirup udara segar, ya Allah, nikmatnya. Teman-teman medsos sering pasang status: “Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang engkau dustakan?”
Salah satu bekal hidup yang barangkali mulai dilupakan banyak orang adalah kesabaran. Sabar itu penting dan perlu. Ada realita yang memang harus disabari. Ada sesuatu yang memang harus dijalani secara pelan-pelan terlebih dahulu. Dan pelan-pelan ini tidak apa-apa.
Orang yang baru sembuh dari sakit atau sedang sakit, tidak apa-apa jalan pelan-pelan. Tidak perlu merasa bersalah. Biasa-biasa saja. Ah, sekarang ini emang ada orang merasa bersalah? Begitu seseorang disebut guru saja, dia langsung yakin guru itu nggak bisa salah. Guru itu canggih dan nggak bisa ketinggalan. Tidak ada guru yang dholuman jahula, gelap dan bodoh pol.
Suatu ketika Abu Nawas sedang ngopi di musim dingin. Karena sangat dingin, dia melirik ke kanan kiri, hingga matanya tertuju ke tempat sampah yang kayaknya di situ baru saja ada jaket tebal dan panjang dibuang. Dia hampiri tempat sampah itu. Ternyata, benar. Ada jaket yang ternyata bukan jaket yang dibuang.
Abu Nawas mengambilnya seraya berkata kepada pemilik warung kopi. “Pak, kenapa ini ada di sini?” tanya Abu Nawas.
“Itu baju wisuda sarjana. Sudah lama tertinggal di sana. Bagiku nggak berguna. Jadi ya aku buang saja. Belum lima menit aku buang,” terang pemilik warung kopi itu.
“Oh, kalau gitu kupakai saja. Daripada aku kedinginan,” ucap Abu Nawas.
Ngopi pakai baju wisuda sarjana, itulah Abu Nawas. Daripada membeku kedinginan. Lumayan jadi tak seberapa dingin.
Akan tetapi, lima menit berikutnya ada orang tergopoh-gopoh dengan rasa gembira menghampirinya. “Tuan pasti orang pintar dan bisa baca. Tolong bacakan surat ini tuan. Sudah lama aku cari orang pintar seperti tuan!”
“Baca apa? Aku nggak bisa baca. Darimana tuan tahu saya bisa baca?” Abu Nawas terkejut.
“Lha, ini tuan pakai baju wisuda sarjana. Pasti tuan bisa baca dan orang pandai.”
“Oh, kalau gitu, pakai saja baju ini. Coba rasakan apakah tuan lantas bisa membaca setelah pakai baju ini?”
Abu Nawas menyerahkan bajunya. Bayar kopi. Lantas pergi.
Ya Allah, sungguh nikmat pagi ini. Menyeruput kopi segar Abu Nawas di pagi hari, betapa sungguh nikmat sekali.
(Banyuwangi, 11 Desember 2020)