Marilah Kita Menengok Opini

Oleh: Moh. Husen

MEPNews.id—Membaca berita itu penting. Wartawan itu bisa kita gelari al-amin alias orang yang dapat dipercaya. Kalau ada polisi berhasil menangkap maling, berita di media akan muncul seperti itu. Berbeda dengan penulis opini. Dia bisa “memberitakan” seekor macan berhasil menangkap tikus. Mengapa demikian?

Menurut sumber yang kurang begitu dapat dipercaya alias dari rasan-rasan, salah satu fungsi menulis opini adalah bisa menulis bebas. Dia bisa bercerita apa saja. Mau menuangkan mimpi, memaparkan ilham tanpa kejelasan, berimajinasi liar, sindir-sindir, menuliskan kondisi kekinian dalam bentuk cerita fabel, atau apa saja bisa dia tulis secara bebas.

Opini itu artinya pendapat. Dia bisa juga berbentuk puisi, lagu, pantun, teater, film, dan lain-lain. Berbeda dengan tugas seorang wartawan. Dia dilarang beropini dalam menyampaikan berita. Juga dia dilarang menulis berita dalam bentuk lain karena takut dengan penguasa atau chaos sosial secara subyektif.

Kalau kepala desa korupsi, berita yang muncul ya harus kepala desa korupsi. Tidak boleh diganti dengan berita kancil nyolong timun. Apalagi tidak diberitakan karena kepala desa tersebut calon mertuanya yang bisa beresiko membatalkan pertunangan si wartawan dengan anak gadisnya.

Maka, menurut seorang penikmat kopi hitam, marilah kita selain rajin baca berita, juga hendaknya rajin baca opini. Berbagai berita yang dianggap tidak laku dan tidak pernah ditulis oleh wartawan, bisa kita jumpai dalam berbagai penulisan opini.

Memang penulis opini merupakan hasil tangkap terhadap sebuah fenomena kejadian apa saja secara subyektif. Tapi hal yang demikian belum tentu salah. Minimal bisa dikonsumsi secara pribadi oleh masing-masing publik yang sepakat dan rasional.

“Aku tahu,” kata penikmat kopi hitam tiba-tiba agak jengkel, “kalian para penulis opini itu pakai acara sindir-sindir, tak berani sebut nama, mungkin karena kalian belum menemukan akurasi fakta obyektif secara hukum. Aku tak menyimpulkan kalian takut dan pengecut yang takutnya hanya kepada penguasa dan orang kaya. Tapi kenapa kalian kepadaku berani terang-terangan sebut nama terhadap segala sesuatu yang belum tentu benar? Kenapa kalian tidak tabayyun saling konfirmasi kepadaku? Apakah karena kalian tahu aku ini melarat yang untuk makan sehari-hari saja harus bingung cari hutangan hingga nunggu gajian?”

Dia ngomel sendiri. Padahal dia belum mandi.

(Banyuwangi, 18 Juni 2020)

Facebook Comments

Comments are closed.