Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id–Kita semua mungkin sudah pernah mendengar sabda Nabi Muhammad SAW mengenai betapa banyak orang berpuasa namun hasilnya hanya lapar dan haus. Akan tetapi bukan berarti lapar dan haus itu tidak penting. Dia penting juga.
Sebagaimana jika ada banyak jebolan sekolahan tapi kok bisanya cuma jadi preman, rampok, penipu, dan seterusnya–bukan berarti sekolah tidak penting sambil kita bilang: “Itu orang kuliah S-3 luar negeri, fasih bahasa Inggris, tapi kok bisanya cuma mencuri uang rakyat gitu! Kalau gitu nggak penting dong bersusah payah sekolah tinggi-tinggi kalau bisanya cuma gitu…”
Peringatan gagalnya orang berpuasa yang hasilnya cuma lapar, atau gagalnya orang bersekolah yang hasilnya cuma mencuri, bukan berarti sekolah dan puasa tidak penting. Apalagi merasakan lapar saat berpuasa, sungguh sangat penting.
Orang mungkin berani menjadi pribadi yang santun, tapi belum tentu berani lapar sungguhpun hanya beberapa jam saja. Belum tentu ikhlas dan mau menjalani lapar dan dahaga sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Meskipun saat berbuka sudah jelas menu santapannya. Serta tidak pernah kesulitan dalam mendapatkan yang disantap itu.
Yang enak memang hidup kenyang, kaya raya, tanpa problem, semua lancar, nggak perlu bertarung dengan ketidakadilan, kesulitan cari nafkah dan bayar hutang, dan seterusnya.
Akan tetapi bagi yang berani dan ikhlas hidup dengan membawa “beban kerumitan dan ketidaknyamanan lapar” di situ lah kemuliaan dan kedewasaan manusia yang beriman sungguh sangat mengagumkan. Maunya sih hidup kita lancar dan instan tanpa harus berjumpa dengan “lapar” dalam kehidupan.
Pantas Allah menyatakan dalam sebuah hadits Qudsi bahwa laparnya orang berpuasa itu langsung diambil dan dimiliki Allah, lantas Allah pula yang akan memberi imbalannya. Semua ibadah disebutkan nilai pahalanya oleh Allah, akan tetapi khusus puasa, Allah merahasiakan nilai pahalanya karena Allah yang akan membayarnya sendiri kepada para pelaku puasa.
Salah satu kewajiban puasa Ramadhan adalah menahan lapar sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari, itupun hanya satu bulan. Sedangkan saudara-saudara kita yang berada dalam keadaan hidup yang kurang beruntung, “lapar” mereka jauh lebih lama dan panjang. Sanggupkah lapar puasa kita mampu menghayati untuk kemudian bersedia menolong “lapar panjang” mereka? Lapar yang bukan soal perut belaka, melainkan soal kelayakan hidup dan harga diri, sehingga tak ada lagi orang yang terpaksa mencuri dan menjual diri.
Mungkin kita perlu melaparkan diri agak panjang agar kita semakin peka dan sehat.
(Banyuwangi, 30 April 2020)