Obrolan Lockdown

Oleh: Moh. Husen

MEPNews.id – Sebaiknya kita jangan terlalu emosi terhadap orang-orang yang menganggap remeh Covid-19 ini. Tak perlu diomelin: “Ooo, kamu belum kena Corona ya? Koq jadi sombong kayak gitu. Nggak punya empati dan sok nantang. Gue doain elu kena Coronavirus sungguhan baru tahu rasa lu…”

Mungkin kita juga mendengar slentang-slenting obrolan menggerundal: “Gimana sih Pemerintah ini, kita dicap nggak taat karena nggak mau lockdown. Lha, terus untuk urusan nafkah kami gimana kalau ndak keluar rumah? Apa dikira cari hutang itu gampang? Hari gini Bung, bullshit alias omong kosong kalau ada orang dengan mudah minjemin duit…”

“Bagaimana nasib anak-anak saya kalau libur sekolah terus menerus seperti ini,” kata obrolan yang lain, “Anak-anak juga perlu mendengarkan ilmu dan keterangan dari gurunya. Apa saya harus menjelaskan rumus Matematika, cara menggambar, praktek olahraga, juga Al-Quran Hadits?”

“Sudahlah,” kata yang lain lagi. “Kita jalani apa adanya dulu. Jangan takut menjalani apa adanya. Kalau ikhlas dengan apa adanya insya Allah segera ada jalan keluar. Semoga Covid-19 ini segera ada obatnya. Dan ingat, cari dan baca informasi tentang Corona ini secara benar. Jangan mudah menokohkan orang. Kalau sudah terlanjur menokohkan biasanya semua kata-katanya dianggap benar oleh yang menokohkan sendiri. Corona ini gawat, meskipun umpamanya ada tokoh yang mengatakan tidak gawat. Gunakan akal sehat. Tapi tetep jangan panik.”

Seorang guru semedi suatu hari berkata kepada muridnya: “Kalau kita sebagai murid di sekolah, lantas dikasih tugas oleh guru kita, biasanya jika hingga jam akhir pelajaran kita masih belum bisa mengerjakannya, guru kita lantas menyuruh agar tugas tersebut dikerjakan di rumah. Dibebaskan kita bertanya kepada siapapun saja. Kemudian tatkala pagi PR tersebut masih saja buntu belum bisa dikerjakan, kepada siapa lagi kita bertanya mengenai jawaban tugas kita itu kecuali kepada sang guru. Dan Allah, Sang Maha Guru dalam kehidupan kita.”

Saat itu sang murid tidak membantah: “Bagaimana kalau kita tidak percaya kepada Tuhan? Bagaimana kalau kita terlalu melulu merasa kita harus mampu mencari dan menemukan jalan keluar sendiri, dan tak perlu bantuan Tuhan? Bukankah terkadang kita menyaksikan bahwa menurut pandangan kita Tuhan tak menolong kepada hamba-Nya yang miskin dan kelaparan tanpa menolongnya sehingga dia terpaksa menipu dan mencuri?”

Sang murid percaya saja kepada Tuhan. Meskipun kadang-kadang lupa kalau berusaha sudah maksimal, mbok ya tawakkal kepada Allah. Kalau prosedur kewajaran berhati-hati agar terhindar dari Coronavirus telah ia lakukan, selebihnya pasrah kepada Allah. La haula wa la quwwata illa billah. Tak ada daya manusia kecuali dibantu dengan kekuatan Allah.

Dalam sebuah acara apa saja, baik acara besar maupun acara kecil dan sederhana, saat tiba di penghujung acara penutup, mungkin belum ada seorang MC yang bertutur: “Marilah dalam acara terakhir atau penutup ini, kita berdoa dan bersemedi sesuai dengan agama dan keyakinan kita masing-masing…”

Tapi tatkala ada anjuran lockdown dan sang murid menyebutnya sebagai fase semedi di rumah, dia dibantah oleh kawannya sembari ditertawakan: “Kalau lockdown alias semedi sih nggak apa-apa Bung. Istighfar, mengakui diri banyak salah dan kotor, serta shalat minta petunjuk, aku sangat setuju Bung. Tapi kalau lockdown lantas alias kehilangan pekerjaan ini yang apa-apa Bung, hahahaha… Pemerintah harus turun tangan Bung, harus bisa menolong rakyatnya, termasuk mentraktir biaya hidup mereka hanya selama lockdown, jika memang harus lockdown Bung…”

“Jawaban saya Bung: wallahu a’lam. Entah orang lain, hehehehe…”

(Banyuwangi, 30 Maret 2020)

Facebook Comments

Comments are closed.