Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id-Kalau boleh jujur, salah satu hal yang paling tidak saya sukai adalah mengajari anak saya. Entahlah. Saya selalu lebih banyak angkat tangan kalau harus mengajari anak sendiri. Masih mending jika anak orang.
Tapi sejak sekolah diliburkan karena musibah virus Corona, saya menjadi terpaksa harus menjadi guru untuk anak saya sendiri. Pertanyaannya: mampukah saya menjadi guru buat putri saya?
Tulisan ini merupakan asli ratapan batin saya, dan bukan sedang pura-pura menuliskan sebuah opini dengan gaya meratap: “Mampukah orang tua menjadi guru bagi anak-anaknya, ketika wabah pandemi Covid-19 mewajibkan putra-putri sekolah harus belajar di rumah dan didampingi orang tuanya?”
Kalau saya harus jadi guru bagi anak saya sendiri, fikiran saya akan berpuisi secara ngawur: “Akan aku ajari anakku sesuai keinginanku. Aku yang menilai anakku dan aku sendiri yang punya metode pembelajaran bagi anakku. Kalau sehari nampaknya tidak aku ajari apa-apa, berarti aku sedang mengajarinya: bisakah ia belajar tanpa aku suruh? Ketika tidak aku suruh apa-apa itu aku sedang mengamati anakku: perilakunya banyak positifnya atau negatifnya? Ketika tidak aku suruh apa-apa itu: apa yang ia tekuni sendiri secara orisinil? Apakah dia tekun menggambar terus dan menggambar terus selama dua bulan, sehingga jangan-jangan dia kelak pakar menggambar, entah berkembang menggambarkan keadaan yang berkembang menjadi seorang analis, teknokrat atau konsultan yang hebat?”
Maka saya selalu ampun-ampun kalau harus mengajari anak saya. Biarkan dia belajar di sekolah saja deh. Nggak pa-pa deh jika dia harus melewati hutan dan bertemu apa saja di hutan. Semoga saja itu bisa menambah kesaktian dan kecerdasan. Masuk hutan saja deh. Bismillah.
Tapi sekarang putri saya harus belajar dari rumah. Ini fakta dan kenyataannya. Sebagaimana fakta sejumlah karyawan di-PHK karena sebuah pekerjaan yang sedang tidak bisa dikerjakan meskipun dari rumah sebagai dampak Covid-19. Maka saya ya akhirnya dengan terbata-bata harus menemani tugas-tugas dari sekolah via WhatsApp untuk dikerjakan anak saya. Padahal saya dulu, selesai sekolah itu senangnya setengah mati, lha kok sekarang saya malah bertemu sekolah lagi di rumah. Kalau sekolah di sekolah nggak pa-pa. Tapi kalau sekolah di rumah, aduh, capek deh.
Ada yang bilang: “Seorang guru belum tentu lho bisa menjadi guru buat anaknya sendiri.” Orang yang bilang seperti itu boleh tidak kita turut. Toh ada juga guru yang sekaligus bisa dan malah seharusnya bisa menjadi benar-benar guru bagi anaknya sendiri. Bahkan meskipun petani yang nyata-nyata bukan guru dan awam mengenai metodologi pembelajaran, ternyata malah bisa sukses menjadi guru buat putra-putrinya.
Akhirnya yang enak itu memang mengeluh: “Ya Allah, maafkan kami. Meskipun kami terus terang saja sungkan. Atas dosa-dosa kami dan kesombongan serta keangkuhan kami sendiri yang terkadang seakan-akan menantang-Mu, sebenarnya kami sadar bahwa kami memang layak dan pantas mendapat hukuman-Mu. Tapi jujur saja kami nggak kuat, Ya Allah. Secara pribadi, aku dan mungkin kami semua masih percaya bahwa Kasih Sayang-Mu kepada kami masih lebih tinggi daripada Murka-Mu, ya Allah. Maafkan kami. Ilahilastulil firdausi ahla, wa la aqwa ala Corona wa alannaril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghofiruddanbil adhimi…. Allahumma shalli ala Muhammad…”
(Banyuwangi, 27 Maret 2020)