Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id – Sudah lama dia tidak menghubungi gurunya. Tapi malam itu dia sangat kangen ingin rasanya menyapa gurunya. Rumah gurunya jauh. Tak mungkin dia kesana. Akhirnya dia kirim pesan singkat bahwa dia kangen. Tak sampai lima menit sang guru menjawab: jazakumullahu khoirul jaza’. Terjemah kontekstualnya: semoga kebaikanmu yang telah kangen kepada seseorang yang tanpa ada hubungan darah denganmu ini dibalas oleh Allah dengan kebaikan yang lebih baik.
Maka tenanglah hatinya atas jawaban itu serta redalah kerinduannya. Dia kagum dengan gurunya yang senantiasa selalu bisa menentramkan. Sementara diluar sana dia menyaksikan: orang lebih suka memanaskan suasana dengan menyulut api permusuhan terus menerus dan memecah belah, serta menabur benih kebencian untuk selamanya.
Kemudian dia melihat televisi sembari nyambi menulis dalam catatan di handphonenya: “Persaudaraan atau paseduluran tanpa hubungan darah memang lebih tinggi derajatnya menurut pandangan Allah dibandingkan dengan wajarnya ketulusan paseduluran sedarah. Tapi mungkinkah aku yang kotor ini menyampaikan mengenai agungnya sebuah persaudaraan? Tidakkah aku yang busuk ini pasti ditertawakan saran kebaikannya karena mereka sendiri tahu betapa busuknya aku? Pantaskah aku menganggap mereka telah tertutup untuk dinasehati sedangkan yang membikin mereka tertutup itu bukan karena hati dan pikirannya sudah sesat dan gelap pekat, melainkan karena mereka tahu betapa bangsatnya aku?”
Tiba-tiba nada panggilan handphonenya berdering. Temannya memanggil. Dia bahagia dan berbinar-binar. Temannya membawa kabar yang sangat menggembirakannya.
Setelah pembicaraan via ponsel ditutup, dia menuliskan sedikit catatannya yang merupakan respon idenya sendiri: “Lantas sebaiknya bagaimana? Apakah diam saja? Ah, tidak juga begitu. Biarpun kamu gelandangan yang kumuh dan kotor, tapi kalau melihat orang lain mau masuk jurang, ingatkanlah dia. Jika tidak mau, ya sudah. Jangan memaksa. Toh dirimu sendiri memang tak pantas menasehati. Tapi kalau ada orang yang mematuhi nasehat kebaikanmu tanpa melihat siapa kamu dan tak peduli apakah kamu iblis atau sahabat dekat Tuhan, mungkin dialah orang yang beruntung.”
Tulisannya dihentikan sampai disitu karena handphonenya berdering memanggil lagi. Kali ini dari seorang teman yang posisinya sudah berada di gang depan rumahnya. Dia diajak keluar untuk ngopi-ngopi disebuah tempat yang ada free wifi-nya. Tanpa pikir panjang lagi dia langsung tancap. Setidaknya dengan free wifi, dia bisa download beberapa ceramah yang meneduhkan hati.
Tapi ngomong-ngomong, siapakah dia ini? Ah, mungkin siapa dia ini tidaklah terlalu penting karena yang terpenting adalah seberapa besar kita telah mengentaskan kemiskinan. (Banyuwangi, 20 Oktober 2019)