MEPNews.id – Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga (UNAIR) mempublikasikan hasil penelitiannya di dua jurnal internasional; Scientific Reports (Impact Factor 4.525), a Nature Group Journal dan Aids Research and Human Retroviruses. Penelitian pertama terkait studi epidemiologi molekuler dari HIV di Indonesia. Penelitian kedua mengenai deteksi resistensi obat antiretroviral (ARV) yang diberikan pada penderita HIV AIDS.
Prof. Dr. Nasronudin, Sp.PD.,KPTI-FINASIM, selaku anggota tim peneliti, menjelaskan penelitian terkait epidemiologi subtype HIV di Indonesia penting dilakukan karena transmisi atau penyebaran virus HIV di Indonesia tercepat di Asia. Ini patut diwaspadai mengingat Indonesia negara besar, dengan jumlah penduduk banyak dan terdiri dari sekitar 17.300 pulau dari ujung utara Sumatra hingga Papua.
“Indonesia adalah negara yang besar dan terdiri dari banyak pulau. Banyak pintu masuk ke Indonesia, demikian juga pintu keluar. Bisa terjadi orang luar masuk ke Indonesia dan menularkan HIV atau orang Indonesia ke luar negeri lalu membawa oleh-oleh HIV,” jelas direktur Rumah Sakit UNAIR (RSUA) itu.
Penelitian terkait resistensi obat ARV penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana tubuh pasien sebelum muncul gejala klinis. Hasil penelitian menunjukkan, mutasi gen akibat konsumsi obat ARV di Indonesia belum banyak terjadi. Artinya, resistensi di Indonesia masih rendah, yaitu kurang dari 5 persen. Pengobatan ARV pada penderita HIV AIDS masih efektif.
“Disimpulkan, mutasi masih sangat sedikit dan pengobatan ARV di Indonesia masih efektif. Masih berpotensi untuk mengangkat kualitas hidup dari pasien HIV atau AIDS,” ucap Prof. Nasron.
HIV AIDS adalah masalah serius bagi pemerintah, keluarga, dan individu. Penelitian terkait penyakit tersebut harus dilanjutkan karena bermanfaat. Bagi UNAIR, itu untuk pengembangan ilmu. Bagi peneliti, itu untuk mengeksplor gagasan. Bagi pemerintah, itu untuk membuat kebijakan.
Harapannya, hasil dari penelitian dapat digunakan untuk membuat obat-obatan mengatasi HIV AIDS. Indonesia tidak perlu impor, dan justru akan bisa membuat sendiri dengan bahan baku yang tersedia. Indonesia memiliki lebih dari tiga puluh ribu jenis tanaman termasuk tanaman obat. Sangat disayangkan apabila kekayaan tersebut tidak dapat diformulasikan dalam bentuk obat langsung ataupun tidak langsung.
“Produk akademis berupa hasil penelitian dikomunikasikan dengan pebisnis agar diproduksi secara besar. Kemudian government (pemerintah, Red) melakukan regulasi sehingga community (masyarakat, Red) dapat menikmati,” pungkas Prof. Nasron. (*)