MEPNews.id – Quarter life crisis sering dialami para remaja dan dewasa muda usia 19 hingga usia 39 tahun. Menurut Endang R. Surjaningrum, M.AppPsych.,Psikolog usia tersebut merupakan fase transisi dari remaja ke dewasa muda. Orang pada usia tersebut rentan mengalami tekanan.
Setiap perubahan fase perkembangan akan mengakibatkan ketegangan bagi seseorang. Tiap fase perkembangan, orang akan mendapatkan tuntutan atau harapan dari lingkungan sekitarnya sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Menghadapi fase dewasa muda, biasanya seseorang diharapkan semakin mendiri dalam banyak hal. Kemudian, mulai merasa memiliki otonomi atas diri sendiri dan bertanggung jawab terhadap apa yang dipilihnya. Serta ketika diberi tanggung jawab, maka diharapkan dia bisa memenuhi tanggung jawab tersebut.
Permasalahannya adalah, tidak semua orang memiliki kesiapan untuk menghadapi tuntutan tersebut.
Beberapa orang pada usia tersebut mungkin masih belum memiliki pekerjaan tetap, atau jika memiliki pekerjaan tetap namun gajinya tidak begitu besar sehingga merasa belum mandiri dalam aspek finansial.
Beberapa orang mungkin dituntut untuk segera menikah. Sementara dia dan pasangannya merasa belum siap baik secara mental ataupun materinya. Dan berbagai tuntutan lainnya. Sehingga mengakibatkan ketegangan secara emosi pada diri individu tersebut.
“Saya pikir itu yang mengakibatkan ketegangan secara emosi. Belum lagi pada usia tersebut, kematangan emosi belum stabil. Sehingga seseorang mudah sekali terpicu oleh faktor di luar,” terangnya.
Kondisi tersebut dapat menjadi sindroma apabila mengganggu fungsi kehidupan lainnya. Terutama fungsi sosial. Salah satu cara untuk menghadapi fase tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.
Individu menyadari ada sesuatu yang tidak pas bagi dirinya.
Pertama, seseorang harus memahami bahwa ada sesuatu yang tidak pas bagi dirinya. Ada sesuatu yang salah. Seperti merasa dirinya terlalu sering uring-uringan, konsentrasi terganggu, hubungan teman menjadi buruk, dan lain sebagainya.
“Ketika seseorang paham bahwa ada yang tidak beres pada dirinya, maka dia akan berusaha untuk mengubah,” ucap Endang.
Ketika seseorang tahu dia mengalami quarter life crisis, maka perlu untuk melihat kembali kesenjangan apa yang belum berhasil dia penuhi. Apa yang paling membuat dia merasa tidak nyaman. Apakah itu karena pekerjaan, hubungan dengan orang lain, hubungan dengan keluarga, atau permasalahan lainnya.
Mulai mengenali diri sendiri. Jujur dan terbuka pada diri sendiri tentang kelebihan dan potensi yang dimiliki. Kemudian, memaksimalkan potensi dan kelebihan tersebut.
“Kita harus menerima bahwa orang punya kelebihan dan kekurangan. Tapi yang jadi acuan adalah kelebihan kita,” paparnya.
Ada beberapa cara untuk mendapatkan pertolongan. Salah satunya adalah dengan bercerita kepada orang terdekat seperti teman dan keluarga. Kemudian, jika terjadi perubahan emosi yang tidak stabil selama minimal dua minggu berturut-turut atau selama satu bulan yang akhirnya mengganggu fungsi sosial, maka dapat pergi ke psikolog untuk mendapat pantuan dari profesional.
Ketika menyadari ada sesuatu yang tidak pas, segera mencari teman untuk berbincang. Jika dipendam sendiri bisa menjadi masalah. Kuncinya adalah komunikasi, mengenali diri dan membuka diri, pungkas Endang. (*)