Oleh: Teguh W. Utomo
MEPNews.id – Tatkala kapal pinisi Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) sandar di dermaga Pulau Ende (Nusa Tenggara Timur), saya melihat di seberang ada bukit kecil ditumbuhi pohon beringin. Bukan sembarang bukit, lokasi itu menyimpan misteri sejarah.
Bukit itu teletak di Desa Rendoraterua. Nama desa ini pernah disebut Bung Karno dalam kisah drama berjudul ‘Rendo Rate Rua’ yang dimainkan Toneel Kelimoetoe. Tonil itu berkisah tentang putri cantik penguasa Portugal dari benteng menghadap utara laut Pulau Ende.
Maka, di sela acara bakti sosial bersama tim dokter RSTKA, saya menyempatkan diri memanjat bukit itu. Saat para dokter memberikan pengobatan hingga operasi gratis pada pasien, saya ingin saksikan sendiri bagaimana kondisi terakhir banteng itu.
Lewat petunjuk seorang pasien, saya berjalan kaki menyusuri pelabuhan, belok kiri di jalan utama pulau itu. Berjalan beberapa saat, saya bertemu seorang remaja putri dan neneknya yang berjalan kaki menuju Puskesmas.
Saya tanya mereka soal banteng itu. Si remaja putri tampaknya tidak paham. Tapi, neneknya segera menjawab dengan bahasa setempat yang saya kurang paham. Atas terjemahan Si Remaja itu, saya diberitahu bentengnya sudah jadi pohon, sambil ditunjukkan jalan menuju ke sana.
Ada beberapa jalan, dan saya ditunjukkan yang terdekat. Jalan itu berupa lahan kosong di sebelah rumah warga. Saya langsung menelusuri jalan menanjak yang berdebu dengan rumput kering serta semak dan pepohonan.
Tak ada petunjuk jalan sama sekali. Jejak menuju banteng juga tak jelas. Jadi, saya ikuti naluri saja saat memanjat bukit menuju pohon besar yang tampak dari kejauhan. Jejak jalannya berkelok-kelok untuk memudahkan memanjat bukit. Debu membubung tatkala kaki saya menginjak tanah bukit.
Setelah jantung berdegub lumayan cepat, dan peluh mulai bercucur, akhirnya saya sampai di ladang singkong. Tengok ke kiri, ada semak-semak lumayan tinggi. Juga ada banyak pohon kaktus. Di situ, tampak pohon beringin dengan akar lumayan lebat menghujam ke tanah.
Lalu, di mana bentengnya?
Di beberapa lokasi, saya lihat karang bertumpuk yang sudah terbenam tanah. Saya duga, itu bagian dari banteng besar Portugal yang dibuat dari tumpukan batu karang. Lalu, saya amati akar beringin itu. Ternyata, akar itu merambat di tumpukan vertikal karang. Nah, tentu ini bekas bentengnya.
Tampaknya, yang saya lihat itu sisi dalam dinding banteng. Maka, saya beringsut ke kiri untuk mencari jalan mengitari pohon itu. Setelah menyibak semak dan sempat tertusuk beberapa duri kaktus, akhirnya saya bisa mendapatkan posisi untuk menyaksikan sisi yang lebih jelas dari benteng.
Tampak batu-batu karang ditumpuk membentuk dinding. Namun, yang tampak di permukaan hanya secuil dari kemungkinan kompleks perbentengan besar masa lalu. Ukuran luasnya mungkin tak lebih dari 15 meter persegi. Entah bila dilakukan penggalian di dasarnya. Mungkin bisa ditemukan lebih banyak sisa-sisa batu atau bahkan bangunan bentengnya.
Dari situ, saya membayangkan bagaimana cara pandang Si Jelita Rendo Rate Rua atau Louis Fernando ayahnya yang juga perancang banteng itu. Maka, dari sisi depan banteng, saya mencoba memandang ke arah laut.
Andai tidak terhalang semak-semak, mata saya bisa memandang jauh ke utara, timur dan barat hingga Pulau Flores. Namun, mata saya sangat jelas memandang kapal pinisi RSTKA dan rumah-rumah penduduk sekitar pelabuhan.
Selain panas terik, saya merasakan suasana yang nyaman, tenang, segar. Selain suara mesin perahu, saya bisa nikmati bunyi kicauan burung dan hembusan angin.
Tapi, entah bagaimana yang dirasakan Rendo Rate Rua atau Louis Fernando kala itu saat harus berhadapan dengan perlawanan penduduk lokal atau persaingan dengan VOC. Yang pasti sejarah menggariskan, bangsa Portugal menancapkan pengaruhnya di sisi timur Pulau Timor.
Ada sejumlah wacana untuk membangunkan banteng Portugal ini dari tidur panjangnya. Namun, belum ada tindakan nyata secara fisik. Banteng berusia ratusan tahun merana seperti yang dialami Si Jelita Rendo Rate Rua.