MEPNews.id – Cara mengasuh dan mendidik atau pola asuh yang diterapkan orangtua pada anak-anaknya dipengaruhi berbagai faktor. Selain tingkat pendidikan, pengetahuan, dan wawasan orangtua, juga dipengaruhi budaya dimana keluarga itu berada. Budaya itu diinternalisasikan pada masyarakatnya secara turun temurun, walaupun pada perkembangannya juga dipengaruhi pergaulan dan pendidikan yang dialami anggota masyarakat masing-masing.
Seperti pola asuh yang diterapkan pasangan Yakobus Manue Fernandez (85) dan Margaretha Hati Manhitu (80), warga Desa Bijeli, Kecamatan Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka menanamkan ajaran kerja keras, kemandirian, tanggung jawab, dan bekerja sampai tuntas pada keempat anaknya.
Ajaran itu merupakan warisan turun temurun yang ditanamkan leluhur Suku Dawan, sebuah suku yang mayoritas berada di TTU. Suku Dawan menyebutnya neksalit atau impian orangtua. Orangtua, dalam kondisi apapun, meski sehari-hari hanya makan jagung, ubi rebus, mempunyai mimpi agar anak-anaknya kelak menjadi ’orang.’ Karena itu, para orangtua suku Dawan menekankan pembentukan karakter jujur, pekerja keras, mandiri, dan bertanggung jawab.
Orangtua suku Dawan juga mendidik anaknya untuk mepukait atau usaha. Ini cara membentuk karakter positif dalam diri anak dengan cara membentuk pembiasaan-pembiasaan positif dalam rumah. Misalnya, anak perempuan memasak di dapur, mencuci piring, sedangkan anak laki-laki mencari kayu api, mencari pakan ternak. Juga kegiatan yang dilakukan bersama-sama seperti membersihkan halaman rumah.
Contohnya, saat anak-anaknya masih kecil dan remaja, Yakobus dan Margaretha menuntut anak-anaknya agar membantu mengelola sawah, ladang, dan ikut menggembala sapi. Hal itu dilakukan anak-anaknya setelah pulang sekolah sekitar pukul 2 siang.
Hidup untuk Orang Lain
Yakobus dan Margaretha juga menanamkan ajaran bahwa hidup ini bukan untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain. Mereka membiasakan anak-anaknya bersama-sama dengan masyarakat sekitar untuk hidup berbagi dengan orang lain. ”Hidup ini jangan hanya mementingkan diri sendiri, tapi juga ada kepedulian pada orang lain, saling membantu, saling menolong pada siapa yang membutuhkan,” kata Margaretha.
Melky menuturkan, kebiasaan itu sudah ditanamkan kedua orangtuanya saat mereka kecil. Saat masih bertempat tinggal di hutan, di tengah-tengah perkampungan kecil, sebelum pindah ke rumah yang sekarang ditinggali. Di perkampungan itu, antar warga terbiasa untuk saling membantu yang akhirnya terbawa sampai besar. ”Saat kami kecil, walaupun dalam kekurangan, tapi kalau ada yang membutuhkan, kami membantunya,” terang Melky.
Karena itu, walau Raymondus sudah menjadi pejabat, Yakobus dan Margaretha tidak pernah menuntut diberi fasilitas. Mereka meyadari bahwa anaknya menjadi pejabat itu bukan untuk orangtua atau keluarga tapi untuk orang lain, untuk masyarakat.
Pembiasaan untuk selalu peduli pada orang lain itu berlandaskan pada filosofi dasar suku Dawam, yakni nekafmese ma ansaofmese yang artinya sehidup semati, seia?sekata, sekata?seperbuatan, sehati?sejiwa. Ungkapan dan pandangan ini diinterpretasikan sebagai sehati, sejantung, yang berarti bersatu bersama, bersama?sama bersatu untuk menanggulangi kehidupan dengan segala tuntutannya. Anak-anak suku Dawam juga sekaligus dididik untuk melaksanakan nekmes ma ansaomes atau turut serta aktif dalam berbagai pembangunan.
Emas di Balik Pukulan
Selain berbagai ajaran itu, ada satu hal lagi yang diterapkan, terutama oleh Yakobus, dalam mendidik keempat anaknya, terutama pada anak lelaki. Yakni mendidik sangat keras untuk selalu melaksanakan setiap pekerjaan dengan penuh tanggungjawab dan diselesaikan sampai tuntas.
Dalam mendidik hal itu, Yakobus tak segan memukul anaknya dengan ranting pohon asam. Hal itu dilakukan bila anak-anaknya melanggar kebiasaan atau aturan yang sudah disepakati. Misalnya, tidak membantu di sawah, diladang atau menggembala sapi.
Dituturkan Melky, ia dan kakaknya, Raymondus, kerap memperoleh hukuman berupa pukulan ranting pohon asam itu dari ayahnya. ”Kalau Kakak Ray dipukul karena sebagai anak tertua harus memberi teladan pada adik-adiknya. Sedangkan saya dipukul karena saya memang nakal waktu remaja,” ujar Melky sambil tertawa.
Menurut Melky, pukulan ayahnya itu tidak sekadar dipukul tapi dipukul sampai kulit mereka lecet-lecet, mengelupas dan berair. ”Tidak diobati, tapi dibiarkan sampai sembuh sendiri. Tanda-tandanya masih terlihat sampai sekarang,” kenangnya.
Melky mengenang, ayahnya memukul sampai kayunya patah. ”Kita harus tahu cara kabur agar tidak terus dipukul. Kalau tidak, kayunya patah, bapak ngambil ranting baru. Kita lari ke hutan, sembunyi di bawah pohon, malam baru pulang. Itu sampai SMP bahkan SMA,” katanya.
Bahkan, ayahnya sengaja menyimpan ranting pohon asam di depan rumahnya agar terlihat anak-anaknya. Dengan harapan anak-anak takut bila melanggar aturan. Diakui Melky, ada pelajaran dibalik hukuman berupa pukulan itu. ”Apa yang ditugaskan ayahnya harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab dan diselesaikan sampai tuntas,” katanya.
Oni, salah satu kerabat dari keluarga Yakobus mengungkapkan, dalam budaya Suku Dawam, ada istilah ’ada emas di balik setiap pukulan’. Artinya, ketika orangtua memukul anaknya itu bukan dilandasi kemarahan tapi terkandung ajaran pentingnya mematuhi aturan keluarga yang ujungnya untuk kebaikan si anak itu di masa depan. ”Mendingan ditegur keras lebih dulu oleh orangtua dari pada ditegur orang lain di tengah-tengah masyarakat karena melakukan kesalahan,” terangnya. Menurut Oni, kerasnya orangtua di Suku Dawam dalam mendidik anak itu ada hubungannya dengan budaya neksalit atau impian orangtua. Yakni tuntutan pembentukan karakter jujur, pekerja keras, mandiri, dan bertanggung jawab. Yanuar Jatnika/Bersambung,.
Sumber: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id