Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id – Bukan karena bulan ini adalah bulan haji, tapi memang tatkala empat orang sahabat baik saya ini mengunjungi saya untuk mengajak ngopi-ngopi, hati saya spontan gugur dan berdoa: “Ya Allah, semoga empat orang ini kelak bisa naik haji semua…”
Saya lantas tersenyum sebentar. Empat sahabat saya ini bajunya putih semua, sehingga mungkin hati kecil saya “ditipu” oleh baju putih-putih mereka itu, sehingga dia spontan mendoakan empat sahabat saya ini naik haji.
“Lha, terus saya naik apa?” Hati saya, saya goda.
Si Hati tak menjawab karena dia tahu bahwa saya harus segera bercengkrama dengan empat sahabat penting saya ini untuk membicarakan banyak hal yang menggembirakan dan guyon-guyon yang lucu-lucu, serta yang pasti: saya ditraktir ngopi oleh mereka.
Salah satu dari empat sahabat saya ini bergurau: “Wah, ntar kita ngopi-ngopi ditulis nih, hehehehe…” Tentu saja mereka akan saya tulis. Mereka ini orang-orang penting. Eman kalau tidak diabadikan dalam sebuah tulisan. Apalagi oleh Hati saya mereka sudah didoakan agar bisa naik haji cukup dengan mentraktir ngopi.
Sampai disini, ketika saya menulis ini, Hati saya tiba-tiba protes: “Bos, jangan nulis gini dong! Masak hanya karena saya spontan mendoakan mereka naik haji saja ditulis dan dipamer-pamerkan seperti ini. Nanti kalau saya jengkel sama mereka, apa Sampeyan tulis juga? Jangan gitulah bos! Jangan kayak orang yang mentang-mentang berkuasa gitu bos! Main tulis sembarangan saja, hehehehe…”
Hati saya ini canggih juga kalau protes. Ada ketawanya segala. Saya malah bingung. Sebenarnya saya ingin menulis mengenai calon kepala desa yang harus bisa menjadi pemimpin yang baik, karena para Kades ini nantinya akan membawa amanah yang cukup berat, terutama mengenai kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya. Apalagi kabarnya dana desa sekarang ini sedang melimpah ruah.
Bukankah hidup sejahtera dalam sebuah masyarakat desa merupakan impian dan idaman kita semua?
Akan tetapi berhubung saya ini tergolong orang yang selalu banyak alasan, terutama alasan ketidakmampuan saya untuk menulis yang “tinggi-tinggi” mengenai Kades yang amanah, maka yang saya tulis sekarang adalah prrihal doa haji Hati saya itu.
“Tenang…” Saya berbisik lirih kepada si Hati.
“Masak gitu aja kamu anggap pamer? Jangan kampungan gitu ah!” Saya melanjutkan, yang justru segera diserobot.
“Bukan gitu bos,” kata Hati, “takutnya bos malah dianggap memamerkan suara hatinya ke orang-orang…”
“Lho,” saya langsung menyela, “kepada orang yang kemana-mana selalu membawa kemewahan dan kemegahan saja aku nggak pernah menganggap mereka pamer kok. Masak aku membawa suara hati begini saja dianggap pamer?”
“Aduh, si bos iniiii…!!!”
“Lha, terus harus gimana?”
“Kalau mau menguraikan haji nggak usah berbelit-belit deh bos! Nggak usah pakai prolog membawa ungkapan hati segala. Sebagai hati, aku ini malu bos! Tulis saja bahwa ibadah haji itu bukan piknik. Bekalnya bukan cuma kemampuan ekonomi dan kesehatan doang. Hatinya juga harus dipersiapkan. Bagaimana mungkin orang naik haji tapi masih membawa ambisi duniawi seperti preman yang kelaparan? Bagaimana mungkin orang naik haji tapi serakahnya melebihi pengangguran?”
“Oke, stop! Nanti kita bahas lagi. Sekarang saya mau mandi…”
Kepada Hati, terkadang saya ini memang kurang menghormati dan kurang ajar. Tapi kepada empat sahabat penting saya yang mengajak saya ngopi tadi itu, saya kok jadi terharu serta menyesal tidak bisa menghormati mereka dengan menyeret mereka ke tempat yang terhormat, misalnya saja restoran mahal dan bukan warung pinggiran yang berdebu.
“Ah, percuma! Warung pinggir jalan saja kamu nggak bisa mbayari. Apalagi restoran mahal…” Hati saya menyahut, mengejek saya. Mungkin dia tidak terima saya stop tadi.
(Banyuwangi, 29 Juli 2019)