Oleh: M. Yazid Mar’i
MEPNews.id – ‘Logic‘. Ilmi logika, adalah salah satu cabang ilmu filsafat. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (bahasa Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Mengapa harus berfikir? Dan mengapa berfikir harus rasional? Karena manusia adalah mahluk Tuhan yang telah di desain untuk mengatur alam semesta. Dan mengapa pula alam semesta harus diatur? Tentu semua itu tidak lain adalah untuk menciptakan keseimbangan alam “keadilan” dan menghindari ketidak seimbangan alam “dholim”.
Memang semua ilmuan sepakat bahwa kehidupan dunia adalah sementara. Akan tetapi, kesementaraan ini adalah sebagai pintu masuk kehidupan keabadian “ahirat’. Dapat dibayangkan, ketika kesementaraan tidak diatur, tidak didesain, tidak diorganisir, dengan baik dan benar, tentulah pada kehidupan kemudian akan mengalami penyesalan. Maka betul jika Kanjeng Nabi Muhammad menyebut “dunia adalah kehidupan menanam”. Pertanyaan kemudian adalah apa yang ditanam, bagaimana cara menanam? Nah, ini tentu membutuhkan “actor” yang dalam konsep Al-Qur’an disebut dengan “aulia’ alias pemimpin.
Karena fungsi dan tugas kepemimpinan bukan suatu yang mudah, tentulah pemimpin harus mereka yang memiliki kelebihan daripada yang dipimpin, artinya memiliki kualitas dan kapabilitas untuk memimpin. Maka, yang harus dimiliki antara lain kemampuan menggunakan akal yang diberikan Tuhan. Akal itu, agar tetap waras, tentulah harus diimbangi dengan agama. Maka, ada maqolah yang menyebut “addiinnu huwal aqlu la dinna liman la aqlalahu” (agama adalah akal, dan tidak ada agama bagi mereka yang tidak berakal). Jadi, agama dan akal adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Jika hanya akal yang bicara, maka persepsi manusia terhadap kehidupan akan kliru. Ini bisa menjadi berbahaya. Semisal persepsi bahwa umat Islam dianggap sebagai kelompok peramal masa depan.
Jika kita sandingkan dengan filsafat, Aristoteles meyakini setiap aspek kehidupan manusia dapat dijadikan objek pemikiran dan analisis. Ia menekankan alam semesta ini tidak dikendalikan secara kebetulan oleh sihir, ataupun kehendak dewa semata, melainkan diatur oleh hukum-hukum rasional.
Jika manusia melakukan penyelidikan secara sistematik mengenai berbagai aspek kehidupan yang mereka jalani, maka manusia akan mendapatkan keuntungan dalam memaknai hidup. Pengamatan yang dilakukan secara empiris, melalui pengalaman individu, ditambah pemikiran logis, akan menghasilkan kesimpulan yang lebih rasional tanpa unsur mistis di dalamnya. Pemikiran Aristoteles ini mempengaruhi dasar-dasar pertumbuhan peradaban di dunia Barat. Mistis, yang dimaksud Aristoteles, tentu bukan agama Wahyu atau agama Tuhan. Pada agama terdapat unsur yang bersifat rasional. Mistis lebih banyak bersifat irasional.
Kesimpulannya adalah “rasional”, akal waras, adalah akal yang bersanding dengan agama. Maka, dalam perspektif lain, tidak ada kehidupan di dunia yang terlepas dari agama yang bersifat rasional, agar kehidupan alam dan seisinya dapat sesuai dengan tujuan penciptaannya. Kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, juga tidak boleh terlepas dengan agama. “Sekulerisme”, dan sejarah kemanusiaan mencatatnya, telah memporak-porandakan kehidupan alam semesta.
Bagi Indonesia yang telah menerima Pancasila sebagai dasar kehidupan bernegara, tentu akan mengatakan: tidak ada tempat untuk sekulerisme di Indonesia, dan tentu tak tempat untuk atheisme, komunisme, radikalisme bagi Indonesia.
Pagihipcafe, 310319