mepnews.id – Seiring banyaknya permintaan pasar global terhadap komoditas udang dan ikan, semakin gencar pula pembudidaya memaksimalkan peran pakan benih udang. Salah satunya Artemia sp. sebagai pakan alami benih ikan laut, tawar, hias maupun krustasea. Artemia sp. memiliki nutrisi tinggi dan bukaan mulut yang cocok.
Dosen dan mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) Universitas Airlangga (Unair) berhasil memproduksi Artemia secara massal untuk membantu petani udang dan garam. Mereka adalah Prof Mochmmad Amin Alamsjah Ir MSi PhD, Dr Woro Hastuti Satyantini Ir MSi, Dr A. Shofy Mubarak SPi MSi, Dr Eng Patmawati SPi Msi, Dr Eng Sapto Andriyono SPi MT, Dr Laksmi Sulmartiwi SPi MP, Daruti SPi MP, dan Muhamad Amin SPi MSc PhD.
Pembudidaya kerap menggunakan Artemia komersial yang dipasarkan dalam kemasan kaleng seberat 425 gram dengan harga sekitar Rp 700.000. Mahalnya produk bisa memperlebar biaya pengeluaran budidaya ikan maupun udang. Oleh karena itu, Artemia menjadi peluang emas untuk membantu pembudidaya.
Dengan dana riset multi years dari LPDP sebesar Rp 14 miliar selama 2021-2023, tim FPK Unair menguji dengan tiga perlakuan yang sesuai untuk menghasilkan biomassa Artemia terbaik dan produksi garam.
“Perlakuan pertama dengan Dunaliella sp., tetapi pertumbuhannya paling jelek daripada yang lainnya. Kedua, memakai Tetraselmis sp., yang hasilnya makin banyak mengeluarkan feses. Ketiga, memakai Chaetoceros sp. Hasil artemianya baik dan besar karena tinggi protein,’’ jelas Reza Istiqomatul Hidayah, mahasiswa S2 FPK Unair sekaligus teknisi tim budidaya artemia.
Memasuki tahun kedua dana hibah LPDP, pihaknya terus melakukan percobaan hingga akhirnya menemukan bahwa pemberian pakan kombinasi Chaetoceros sp. dan dedak cocok untuk pertumbuhan dan peningkatan kandungan nutrisi Artemia sp.
“Saat ini kami sedang proses uji bebas patogen. InsyaAllah, tahun kedua ini hasilnya bisa dirasakan manfaatnya oleh banyak pembudidaya ikan maupun udang,’’ lanjut Reza.
Selain menghasilkan biomassa Artemia, tim penerima dana hibah juga memproduksi garam dari hasil limbah budidaya itu. “Air dari proses sipon (pembersihan kotoran) setiap hari dikeringkan di bawah sinar matahari, kemudian jadi garam mengkristal. Jadi, budidaya ini gak ada yang terbuang sia-sia,’’ imbuhnya.
Untuk meningkatkan produktivitas tambak garam dan pengembangan budidaya Artemia secara massal, FPK Unair menjalin kerja sama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan di Madura, termasuk Pamekasan dan Sumenep. Lokasi tersebut dinilai sangat berpotensi sehingga bisa meningkatkan sisi ekonomi. (*)