Oleh: Suswati
mepnews.id – Di wilayah barat kota Banyuwangi, berbatasan dengan Kelurahan Banjarsari, terdapat sebuah desa bernama Olehsari. Desa di Kecamatan Glagah tersebut dihuni penduduk dominan berbahasa Using. Tradisi seni dan budaya di kawasan itu cukup banyak. Antara lain; seblang, gandrung, gamelan, kuliner, dan tempat wisata mistis.
Dari segi sosial, masyarakat desa itu umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan berkesenian. Siang hari, mereka bekerja di sawah untuk mencukupi kebutuhan hidup. Rasa damai menyelimuti wajah-wajah mereka. Kesejukan alam menjadikan masyarakat betah menunggu kampung mulai lahir sampai ajal menjemput.
Sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan, mereka melaksanakan adat tahunan secara turun-menurun dari nenek buyut. Salah satu adat di Dusun Krajan, Desa Olehsari, adalah ritual selamatan di Batu Ageng Sukmoilang dan Sumber Daz dalam waktu berurutan.
Apa itu Sukmoilang? Bila ditinjau makna harfiahnya, sukmo mempunyai arti nyawa, ilang artinya hilang. Jadi, sukmoilang adalah nyawa yang hilang. Karena kehilangan nyawa, masyarakat memberi tetenger selamatan dengan sesajen yang telah disepakati bersama.
Kisah selamatan adat di Batu Ageng Sumber Sukmoilang bermula dari blantik (tengkulak) sapi dari Desa Babatan di Kecamatan Kabat, yang membawa sapi untuk dijual. Namun, tiba-tiba sapi tersebut larat (hilang kendali) hingga berhenti dengan sendiri di sebuah kedung. Kebetulan saat itu udara sangat panas karena ketigo (musim kemarau) sehingga sapinya lelah dan kehausan.
Di tempat itu ada sebatang sungai dengan pepohonan rindang dan lebat dari beragam tanaman besar maupun kecil. Karena sangat dalam, airnya tenang. Karena tempuran dari dua sungai, tempat itu membentuk kubangan yang dinamakan kedung. Bebatuan besar yang menghiasi kedung dari gelontoran lava gunung meletus. Maka, tempat itu sekarang diberi nama Kedung Watu Ageng.
Sambil melepas lelah, para blantik mengitari sapi yang sedang minum air. Mereka terlihat senang dan bahagia. Namun, hanya sejenak. Betapa kaget mereka ketika sapi yang minum di kedung itu tiba-tiba tersedot air dan musnah tak tahu rimbanya. Buyut Daz, sebagai tetua kampung kala itu, turut serta mencari namun hasilnya nihil.
Sehari setelah kejadian, cucu Buyut Daz yang kala itu masih perawan kecil bernama Sutani (sekarang dipanggil Mak Tani) bermimpi didatangi jim penunggu Kedung Watu Ageng. Jim bernama Sayu Sarinah itu membawa pesan agar menghentikan pencarian karena sapinya sudah dirawat. Hal itu sebagai pengganti keterlambatan warga dalam mengirim sesaji.
Dengan peristiwa hilangnya sapi di sumber itu, masyarakat lalu memberi nama Sumber Sukmoilang. Agar peristiwa tersebut tidak terulang, warga kampung menggelar selamatan adat setahun sekali pada bulan Jumadil Akhir, bakda Ashar atau jam 4 sore.
Sesaji yang dipasang berupa ayam kampung masih segar mulai pinggang sampai ceker, dilengkapi kembang tiga warna terdiri atas daun pandan, kembang wongso (bunga kenanga), dan mawar, serta dilengkapi banyu arum. Semua ditata dalam ember lalu diletakkan di bibir Kedung Watu Ageng atau Sumber Sukmoilang.
Pelaksanaan riual dilanjutkan di sisi selatan sekitar 20 meter dari Watu Ageng yang terdapat sebuah sumber. Airnya memancar dari bawah pepohonan bambu dan pohon keras lainnya. Oleh masyarakat sekitar, tempat itu dinamakan Sumber Daz. Nama itu diambil dari nama orang yang merawat dan menunggu sumber yaitu Buyut Daz.
Keberadaan sumber air itu sangat membantu masyarakat sekitar. Airnya digunakan untuk mandi, mencuci baju, minum, dan pengobatan bagi penderita gatal-gatal, batuk dan lain-lain. Bahkan, air yang digunakan untuk ritual Seblang juga dari Sumber Daz.
Kucuran dari tanah dan akar pepohonan menjadikan airnya bersih, segar, dan menyehatkan. Oleh karena itu, banyak pengunjung yang mencari kesembuhan di situ. Tidak hanya dari daerah setempat, tetapi juga dari lain pulau terutama Bali.
Waktu pengambilan air untuk pengobatan harus seizin Mak Tani sebagai juru kunci pilihan menggantikan Buyut Daz. Jadwalnya setiap malam Senin dan Jumat bakda Ashar, dengan pengunjung membawa persyaratan berupa bunga tiga warna dan banyu arum.
Khusus penyakit gatal-gatal, syaratnya ditambah kembang wongso dalam jumlah lebih banyak. Saat pulang, pengunjung harus membawa air dari Sumber Daz dan kembang wongso untuk pengobatan. Kembang wongso dibebeg (ditumbuk-tumbuk) kemudian dibalutkan pada anggota badan yang gata-gatal. Sedangkan airnya diminum.
Saat ritual pemberian sesajen di Kedung Batu Ageng Sukmoilang selesai, kegiatan dilanjutkan dengan selamatan syukuran di pelataran Sumber Daz. Ubo rampe (seperangkat makanan, minuman, peranti, atau alat untuk ritual) yang disiapkan di pelataran Sumber Daz adalah,
- Nasi gurih atau nasi kebuli
- Pecel pitik kampung pethengteng (ayam dibelah lalu disunduk kemudian dibakar).
- Jangan lembarang yaitu kare berisi tahu, tempe, dan ayam.
- Bunga wangi tiga warna diletakkan di baskom yang diberi air sumber (jumlah kembang wongso harus lebih banyak daripada lainnya).
- Tumpeng kecil ponco warno terdiri atas warna; merah, kuning, putih, hijau, dan hitam, ditata pada nyiru.
- Sambal goreng
- Ayam goreng
Mak Sutani sebagai juru kunci memimpin acara selamatan adat agar semuanya diberi keselamatan dan terhindar dari petaka, atau upaya tolak balak. Setelah selesai, warga satu-persatu bergantian minum air bunga hingga habis dilanjut dengan makan bersama. Menurut Mak Tani, bila selamatan dilupakan atau tidak dilakukan maka akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Seperti, musnahnya sapi di Kedung Watu Ageng.
Saat matahari telah condong menuju peraduan, ronggeng pun membunyikan suara, pertanda hari sudah sore. Iringan kemeriyat suara derak bambu menambah suasana mistis. Yang tertinggal di situ cuma Mak Tani.
Wanita berusia kurang lebih 85 tahun itu berkebaya biru tua berjarit gajah oling serta tak meningggalkan tradisi memakai sisir untuk sunggar di kepala. Tiada tampak rasa lelah sedikit pun walau hidup seorang diri dengan ekonomi pas-pasan. Wajah keriput tidak mengurangi semangat untuk mengayunkan tangan dan melangkahkan kaki menuju tempat persinggahan sementara.
Karena keuletan dan kesabaran nguri-uri adat, Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi memberi Mak Tani fasilitas bedah rumah dan rantang kasih. Maka, di umur yang senja ini, Mak Tani tidak perlu lagi berfikir mencari nafkah untuk sekadar hidup.
Saya mengakhiri pertemuan dengan juru kunci Sumber Sukmoilang dan Sumber Daz dengan pengalaman berharga. Semoga masyarakat Desa Olehsari semakin antusias mengabadikan upacara adat yang sudah jarang diketahui atau dilakukan oleh generasi muda.
Apapun adanya, kita mangikuti adat-istiadat di mana kita berada. Pepatah mengatakan, “Masuk kandang harimau, mengaum. Masuk kandang kambing, mengembik.”
Dengan beragam budaya dan tradisi, semoga negeri ini jadi semakin kuat. Persatuan dan kesatuan akan terjaga dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan rintangan dari pihak manapun. Mari bersama nguri-uri budaya dan tradisi yang beragam dari negeri a sendiri. Banggalah menjadi bangsa Indonesia.
- Penulis adalah guru SMPN 1 Giri, Banyuwangi