Oleh : Abu Muslim
mepnews.id – Proses mencari makna tidak sekadar dari membaca teks. Namun juga perlu melihat sisi sejarah kenapa teks itu bisa terujar dan bernilai bagi si pembaca. Prinsip itu digemakan Aksin Wijaya pada Sabtu 11 Desember 2021 di IAIN Ponorogo bertepatan dengan resepsi pengukuhan Guru Besarnya. Dia dinobatkan sebagai Profesor dalam bidang Al Qur’an dan Tafsir.
Guru Besar pertama Fakultas Ushuluuddin dan Dakwah IAIN Ponorogo ini, dalam orasi berjudul ‘Menghadirkan Pesan Al Qur’an Yang Bermakna: Dari epistemologi ke Aksiologi’, menyatakan bahwa penafsiran seharusnya berorientasi pada penyingkapan pesan Tuhan ‘yang berarti’ bagi kondisi sejarah penafsir. Sebuah penafsiran hendaknya pada aspek nilai kemanfaatanya, bagi dirinya maupun komunitasnya.
Dalam operasional penafsirannya itu melibatkan tiga komponen. Pertama, penggagas teks al Quran yakni Allah. Kedua, teks al Quran sendiri yang terlafazkan melalui bahasa Arab merupakan kontruksi sejarah, karena bahasa merupakan produksi sejarah. Ketiga, penafsir sebagai pembaca teks al Quran yang digunakan untuk menghadapi persoalan hidup manusia yang terikat ruang dan waktu. Ketiga unsur tersebut selalu diikuti dengan horizon yang melingkupinya.
Ketiga circle tersebut saling berkaitan atau tidak dapat dipisahkan. Dari oprasional cara penafsiran, Aksin menunjukan seorang penafsir hendaknya mendialogkan antara makna awal teks dengan makna siginfikansi. “Makna awal atau objektif adalah makna sebagaimana yang terujarkan pada teks dan horizon yang melingkupinya yakni sejarahnya. Sedang makna signifikansi yakni makna yang bisa digunakan untuk menghadapi realitas saat ini,” ungkpanya.
Sehingga proses negosiasi ini setelah ditemukan makna awal teks al Quran dalam ruang dan waktu pada abad 7 dilanjutkan pada proses pengkaitan dengan kondisi penafsir saat ini. Ketiga horizon itu berdialog dengan kreatif sehingga bisa menemukan makna seperti dalam bahasa Fazlu Rahman ‘ide Moral’ al Qur’an yang kemudian digunakan untuk menghadapi persoalan-persoalan kehidupan penafsir saat ini.
Selain metode itu, yang membedakan Aksin dengan metode tafsir lainnya ialah landasan prinsip berfikir bagi seorang penafsir. Dalam bahasanya, ‘etika pengendali diri’ itu menjadi basis penting agar dalam menafsirkan tidak semena-mena. Dengan demikian, produk penafsiran tidak hanya mengandung kepentingan dirinya atau kelompoknya. Namun produknya bisa sebagaimana semangat nilai-nilai yang terkandung dalam al Qur’an dan sesuai untuk persoalan manusia hari ini.
Dalam etika pengendali diri, dosen teladan PTKIN 2015 itu mendasarkan pada pemikirannya Khaled Abou El Fadl. Seorang penafsir seharusnya memegang teguh beberapa prinsip etis seperti kejujuran, kesungguhan, kekomprehensifan, rasionalitas, pengendalian diri. Dengan prinsip ini diharapkan penafsir tidak sewenang-wenang dalam menafsirkan al Qur’an.
Menurutnya, kesewenang-wenangan itu ada karena faktor pra-pemahaman yang melingkupi pemikiran penafsir. Maka, dia menekankan penafsir hendaknya tidak mengikuti pemikiran orang lain karena alasan misalnya orang lain itu berasal dari Arab yang merupakan pusat Islam. Seharusnya yang dilakukan penafsir ialah menyelaraskan dengan kondisi yang diikuti, misalnya sama-sama orang Indonesia.
Hal ini menjadi krusial karena watak membentuk pra-pemahaman penafsir. Misalnya, apabila menggunakan watak Arab maka akan memghasilkan penafsiran berwatak Arab. Jika menggunakan watak Barat maka hasil penafsiran akan berwatak barat. Sama halnya apabila menggunakan watak Indonesia maka akan menghasilkan model penafsiran berwatak Indonesia.
Aksin mengungkapkan, hal ini bukan berarti membuat model penafsiran menjadi ekslusif. Terlebih lagi akan menghasilkan berbagai macam bentuk model dan akan kaya penafsiran. Dia manambahakan, seharusnya penafsir Indonesia menggunakan watak Indonesia. Ini dilandaskan pada kesamaan mayoritas dalam masyarakat, sebagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi mayoritas tersebut.
Di tengah arus keberagamaan di Indonesia yang multikultural, gagasan Profesor Aksin Wijaya sangat penting untuk diaplikasikan. Selama ini, Aksin merupakan intelektual muda NU yang kontra kelompok ekstrimis radikalis yang dengan sewenang-wenang menafsirkan al Quran hingga memonopoli penafsiran sembari mengkafirkan orang lain.
Kelebihan dari metodenya ialah al Quran membukakan cakrawala ide moral sendiri yang dikandungnya dari hasil dilaektika dengan penafsir. Al Qur’an yang ditafsirkan berbicara dan sekaligus menyampaikan pesan tertentu dan tidak subjektif, terhindar dari sewenang-wenang penafsir, sehingga pesan ini akan menghasilkan pesan objektif .
Selain itu, dengan mendasarkan pada basis prinsip kendali diri, akan terhindar pada sewenang-wenangan dalam pemaknaan al Quran. Tidak ada lagi monopoli penafsiran tetapi lebih memprioritaskan mencari makna yang berarti dan bernilai.
Dia berpendapat, “Satu penafsir menyalahkan penafsir lain yang kebetulan menemukan ‘makna’ berbeda dengannya, tidak menghargai perbedaan temuan, pegangan dan rasa yang digali dari al-Qur’an, maka mereka tidak hanya disebut tidak sadar sejarah tetapi juga menyempitkan kandungan al-Qur’an.”
Pandangan Aksin dapat diterima dalam rangka memproyeksikan pengembangan motode pembacaan Al-Qur’an pada masa kini. Sebab, selama ini penggalian makna masih bergumul dalam perdebatan mengenai kebenaran metodologis. Berbeda dengan Aksin yang menghadirkan nilai penafsiran yang berarti. Dengan begitu, pemakanaan al Qur’an akan ditemukan pesan Tuhan ‘yang Berarti’ bagi umat muslim di dunia.