Erupsi Semeru; Patuhi Peta KRB

mepnews.id – Erupsi Gunung Semeru sejak 4 Desember berdampak menutup material vulkanik beberapa wilayah sekitarnya dan menelan korban puluhan jiwa. Menanggapi bencana ini, M. Haris Miftakhul Fajar MEng pakar geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengungkapkan guguran material tersebut sebagian besar akumulasi hasil erupsi hari-hari sebelumnya.

M. Haris Miftakhul Fajar

Erupsi adalah proses alami yang berkaitan dengan proses endogenik dan disebabkan ketidakstabilan dapur magma. Menurut dosen Departemen Teknik Geofisika ini, rekaman aktivitas seismik Gunung Semeru saat itu diketahui tidak menunjukkan adanya gempa karena erupsi besar. Tetapi terekam data seismisitas akibat aktivitas guguran yang meningkat tajam dan gempa erupsi intensitas kecil.

Bila merujuk data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), sejak November lalu sudah terjadi peningkatan aktivitas vulkanik berupa gempa erupsi. “Maka, bersamaan dengan adanya peningkatan aktivitas erupsi, terindikasi pula peningkatan jumlah material vulkanik yang terkumpul di sekitar kawah.”

Penumpukan jumlah material di tudung Gunung Semeru ini mengakibatkan puncak semakin tinggi. Di sisi lain, ketidakstabilan lereng menjadi bertambah pula. “Apalagi, material erupsi keluaran Gunung Semeru masih berupa material vulkanik yang tidak terkonsolidasi. Karakteristik material itu sangat mudah tergerus dan dapat mengakibatkan terjadinya runtuhan.”

Cuaca ekstrem di akhir tahun 2021 turut mendorong proses pengikisan. Alhasil, di tengah hujan deras pada Sabtu lalu, guguran material vulkanik berdampak sangat masif di beberapa lereng Gunung Semeru. Hal ini terlihat dari adanya hujan abu disertai awan panas guguran (APG).

Sebaliknya, masyarakat cenderung tidak merasakan getaran gempa erupsi saat peristiwa terjadi. “Saat runtuhan, sebenarnya juga disertai dengan getaran. Tetapi, magnitudo getarannya kecil, sehingga tidak sampai terasa oleh warga sekitar,” ungkap dosen kelahiran 1989 ini.

Namun, getaran itu dapat ditangkap oleh seismograf sebagai seismisitas guguran.

Data seismograf juga mendeteksi adanya seismisitas akibat erupsi pada pukul 14.50 WIB di hari yang sama dengan amplitudo maksimum 25 mm dan durasi 5.160 detik. Dari situ, terindikasi adanya erupsi yang langsung terjadi pasca guguran material vulkanik akibat pengurangan tekanan di lapisan bagian atas Gunung Semeru. “Erupsi ini terjadi pada skala kecil, dengan getaran seismisitas tidak terlalu dirasakan warga,” tegasnya.

Meskipun material runtuhan sebagian besar dari endapan material vulkanik erupsi sebelumnya dan bukan material yang baru keluar akibat erupsi besar, material tersebut tetap menyimpan panas dengan suhu tinggi. “Panas itu masih ada karena ketebalan endapan material yang masif,” ujar dosen yang gemar naik gunung ini.

Selain itu, sejak awal material keluar dari perut bumi, panasnya mencapai suhu 300 – 700 derajat Celcius. Saat endapan material vulkanik runtuh, awan panas yang menyertai bersuhu sekitar 200 – 400 derajat Celcius. Selain itu, terdapat pula lahar hujan yang juga panas.

Uniknya, Gunung Semeru merupakan gunung api yang biasa mengeluarkan gas beserta material vulkanik setiap 30 – 60 menit dengan letusan berintensitas kecil. Hal ini yang membedakan Gunung Semeru dengan gunung api lain, misalnya Gunung Merapi atau Gunung Kelud. “Semeru jarang meletus dalam skala besar, karena secara teratur menyalurkan tekanan dan material vulkaniknya dari dalam dapur magma ke permukaan bumi,” jelas Haris.

Hal itu dapat dikatakan sebagai keuntungan karena pengumpulan tekanan besar di dalam dapur magma dapat sedikit dihindari. Erupsi yang terjadi di Gunung Semeru pascaguguran vulkanik terjadi dan tekanan bagian penutup berkurang, masih berlangsung pada erupsi skala kecil. Hal ini menunjukkan tekanan dan material di dapur magma Gunung Semeru tidak terlalu besar.

Di sisi lain, imbuh dosen asal Blitar ini, karakter tersebut juga harus diwaspadai karena material erupsi hanya terkumpul di sekitar kawasan puncak. “Sewaktu-waktu longsoran mudah terjadi, apabila telah mencapai batas ketidakstabilan lereng,” tambahnya.

Sampai saat ini, status Gunung Semeru berada pada level waspada karena aktivitas vulkanik tidak menunjukkan peningkatan signifikan yang mengindikasikan adanya erupsi besar.

Rekomendasi

Menurut Haris, aktivitas gunung api yang demikian itu merupakan siklus. Karena hukum alam, aktivitas tersebut pasti mengalami perulangan. “Kita tidak perlu panik dan harus tetap waspada. Sadari bahwa Gunung Semeru saat ini sedang melakukan rutinitasnya. Sudah sepatutnya kita berbagi waktu dan ruang secara selaras dengannya.”

Haris mengingatkan semua pihak dapat mematuhi peta kawasan rawan bencana (KRB) Gunung Semeru yang telah dibuat PVMBG. Berdasarkan peta tersebut, dapat diketahui salah satu area yang paling berdampak dan berpotensi kerusakan paling masif adalah Desa Cupiturang. “Di kawasan seperti itu, jika musibah masih terjadi setelah adanya peringatan, tentu menambah keprihatinan kita semua,” ucapnya.

Oleh karena itu, patut dijadikan pelajaran bahwa penataan ruang juga harus didasarkan pada Peta KRB. Masyarakat dan relawan yang bekerja dalam proses evakuasi saat ini juga harus senantiasa mewaspadai kemungkinan adanya guguran material vulkanik susulan.

Untuk memastikan itu, pengamatan kondisi endapan material perlu segera dilakukan saat cuaca mendukung dan pandangan telah terbebas dari kabut. “Waspadai juga potensi erupsi susulan akibat lapisan penutup yang menahan tekanan telah berkurang,” ia mengingatkan kembali. (Kafa ‘Aisyana Ni’mah)

Facebook Comments

Comments are closed.