Oleh: Dewi Hermawati
mepnews.id – Dunia pendidikan selalu menawarkan hal yang menarik dengan segala hiruk pikuk tantangan di dalamnya. Ada siswa berprestasi, tetapi tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ada siswa yang kurang berprestasi, eh malah ditambah kurangnya kepekaan orang tua dan guru yang seharusnya setia mendampingi. Ada guru yang gagap teknologi membuat media pembelajaran, tetapi selalu aktif di sosial medianya sendiri. Ada juga guru yang asyik di zona nyamannya sendiri tanpa menyadari tantangan besar yang akan dihadapi anak didiknya nanti. Ada kekurangan, ketidakpekaan, keegoisan, ketidakefektifan sistem, keruwetan prosedur dan masih banyak lagi.
Namun, dari semua ketidaknyamanan di atas, ada lebih banyak hal sederhana yang bisa kita lakukan untuk membangun Generasi Emas tahun 2045. Apalagi setelah masa pandemi COVID-19. Berbagai tatanan baru telah dilalui. Perubahan dan adaptasi adalah makanan kita sehari-hari. Digitalisasi ada di sana-sini. Sungguh, pandemi membuat dunia kita tidak seperti dulu lagi.
Sudah saatnya guru menjadi PETC. Apa itu guru PETC? Apakah perlu guru PETC hadir di dunia pendidikan? Apakah semua guru bisa melakukannya? Bagaimana caranya?
Pertama, ijinkan saya menjelaskan dulu apa itu guru PETC. PETC singkatan dari Pembangkit Energi Tenaga Cinta. Ya, guru yang bisa menjadi pembangkit energi tenaga cinta untuk murid-muridnya secara khusus dan untuk lingkungan sekolah serta para orangtua siswa pada umumnya.
Kedua, mengapa harus guru PETC? Seperti yang kita lihat, semangat anak-anak mengalami pasang surut setelah bertemu pandemi COVID-19. Bersyukurlah jika anak-anak dianugerahi orang tua yang senantiasa mendampingi dan mendukung semua kegiatan belajar, karena tidak semua anak memiliki fasilitas itu. Banyak dari mereka harus berjuang sendiri memahami materi pembelajaran dan hidup dalam keterbatasan fasilitas belajar. Banyak faktor yang menjadi keterbatasan mereka dalam belajar. Entah karena kesibukan orang tua, kurangnya kepedulian akan pentingnya pendidikan, keterbatasan sarana prasarana belajar, dan masih banyak lagi.
Oleh karena itu, guru hendaknya juga memperhatikan kondisi psikis anak didiknya. Anak-anak butuh tidak hanya materi pelajaran PKn, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, SBdp, PJOK, dan Agama. Lebih dari itu, mereka membutuhkan ‘cinta’ dari gurunya. Cinta di sini bisa dimaknai secara luas. Kekeringan dan kekosongan jiwa anak-anak juga harus disirami dengan cinta. Ingat sebagian syair lagu kebangsaan kita ‘… bangunlah jiwanya, bangunlah badannya…’ Ini seolah-olah mengingatkan kita untuk membangun jiwa anak-anak terlebih dahulu, kemudian kita bangun badan mereka. Namun, sayangnya belum semua guru melaksanakan peran ini. Ada guru yang hanya mengejar selesainya materi pembelajaran, tanpa memperdulikan perkembangan jiwa anak didiknya.
Ketiga, apakah semua guru bisa menjadi guru PETC? Jawabannya, sangat bisa. Tentu saja dikembalikan pada niat dan kesungguhan guru tersebut. Apakah mereka ingin mengambil peran dalam perubahan ini atau tidak. Guru PETC berangkat dari ketulusan niat. Menjadi guru PETC tidak akan menambah angka nominal gaji sebagai guru. Namun, jika melakukannya, maka nominal keberkahan hidup guru akan bertambah dan melimpah.
Tidak percaya? Coba saja dulu! Bayangkan jika anak-anak menjadi lebih termotivasi karena energi tenaga cinta yang kita berikan. Mereka semangat belajar dan mengembangkan kemampuan diri. Mereka menjadi lebih tangguh dan memiliki kekebalan jiwa yang tidak tertandingi. Hal-hal ‘halus’ tak kasat mata itu lah yang mereka perlukan untuk menghadapi tantangan kehidupan puluhan tahun ke depan.
Terakhir, bagaimana caranya agar kita bisa menjadi guru PETC? Jawabannya sangat mudah. Modalnya hanya ketulusan hati, kemauan, dan keberanian diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Seorang guru PETC mencintai dan menikmati perannya sebagai guru. Jika belum mencintai peran kita sendiri, bagaimana mungkin bisa memberikan cinta kepada orang lain? Pastikan kita tahu alasan mengapa ingin menjadi guru. Jika niat kita belum lurus, maka mohon luruskan terlebih dahulu. Bukankah menjadi guru itu pekerjaan mulia?
Kita mempersiapkan generasi penerus bangsa. Saya tuliskan lagi ‘generasi penerus bangsa’. Tentu saja hal ini tidak bisa kita lakukan dengan main-main. Kita ikut mengambil peran dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Tentu saja harus dimulai dengan peningkatan kualitas kita sebagai guru terlebih dahulu.
Lalu bagaimana cara kita merealisasikannya dalam kehidupan nyata? Seperti yang kita tahu, salah satu kebutuhan manusia adalah perasaan untuk mencintai dan dicintai. Tentu saja kita hendaknya tahu apa saja bentuk ekspresi cinta. Mencintai adalah kata kerja. Sehingga ia pun akan membutuhkan pembuktian nyata. Pahami apa bahasa cinta anak didik kita. Tentu saja setiap anak memiliki kecenderungan bahasa cinta yang berbeda. Jika kita paham bahasa cinta mereka, maka pesan cinta lebih mudah disampaikan dan dipahami oleh anak didik kita. Pada akhirnya, itu akan meningkatkan energi dan motivasi.
Setidaknya, ada lima bahasa cinta yang bisa kita pelajari. Lima bahasa cinta tersebut adalah kata-kata pendukung, layanan, hadiah, sentuhan, dan waktu.
- Kata- kata pendukung; Bahasa cinta ini diungkapkan dengan kata-kata pendukung, pujian atau pun penghargaan. Guru hendaknya memberikan kata-kata penuh kasih sayang kepada anak didiknya. Bisa kita ungkapkan dengan pujian atau penghargaan langsung melalui kata-kata, atau kutipan yang menyalakan dan mengobarkan semangat mereka dalam memperbaiki diri.
- Layanan; Kita bisa memberikan bantuan kepada siswa yang memerlukan. Misalnya menanyakan dan membantu siswa tentang kesulitan mereka saat belajar. Bahasa cinta ini lebih ditekankan pada tindakan nyata kita.
- Hadiah; Kita bisa memberikan hadiah kepada para siswa. Tidak harus berupa barang mahal. Kartu penyemangat yang kita tulis untuk mereka juga sudah bisa mencerahkan hatinya.
- Sentuhan; Bahasa cinta ini diungkapkan dengan sentuhan. Sebenarnya bahasa cinta ini akan lebih dirasakan manfaatnya jika dilakukan oleh orang tua sehingga anak didik akan merasa lebih dicintai. Misalnya dengan cara menggandeng tangan, pelukan penyemangat sebelum berangkat sekolah atau menjelang tidur, dan lain sebagainya. Sebagai guru, kita hendaknya menyentuh hati anak didik kita. Masukkan mereka dalam doa-doa kita.
- Waktu; Waktu berkualitas adalah ungkapan cinta bagi siswa tipe ini. Maka luangkan waktu untuknya. Mungkin bisa kita lakukan dengan cara memberikan waktu yang berkualitas dan memberikan kontak mata saat mendengarkan pendapatnya.
Itulah beberapa bahasa cinta yang bisa kita lakukan. Seorang guru PETC akan memberikan energi cinta untuk anak didiknya sehingga meningkatkan tenaga dan motivasi mereka dalam menghadapi gelombang ujian kehidupan.
Bagaimana? Apakah kita sudah termasuk guru pembangkit energi tenaga cinta? Nah, cintai anak didik kita seperti anak kita sendiri. Mari berperan serta dalam membangun pendidikan Indonesia yang lebih baik lagi demi masa depan.
- Penulis adalah guru di Magetan, yang gemar membaca, mendongeng, berbagi inspirasi, traveling dan belajar bahasa.