Cermati Kadar Vitamin D pada Obesitas

mepnews.id – Meski menjadi salah satu idola untuk pencegahan COVID-19 di era pandemi saat ini, ternyata Vitamin D memiliki hubungan kurang menyenangkan dengan obesitas. Maka, orang yang kelebihan berat badan disarankan untuk lebih mengontrol konsumdi Vitamin D.

Dr Henry Suhendra, SpOT.

Dr Henry Suhendra SpOT, alumnus Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga tahun 1992, mengatakan, “Orang-orang dengan obesitas tinggi lebih rentan terinfeksi COVID-19, jika dikaitkan dengan vitamin D.”

Mengapa? Karena kandungan Vitamin D pada tubuh penderita berat badan berlebih hanya 50 hingga 70 persen dari pada orang-orang dengan tubuh ramping. Pada orang-orang dengan obesitas tinggi, Vitamin D yang seharusnya larut dalam lemak ternyata lebih banyak terperangkap dalam lemak. Yang tersisa di pembuluh darah hanya sedikit.

“Yang bisa dipakai kan Vitamin D di pembuluh darah, lalu baru dibawa ke organ-organ. Jika semakin tebal lemak seseorang, Vitamin D akan semakin banyak tersimpan di lemak. Jadinya useless,” jelasnya dalam wawancara dengan Deddy Corbuzier pada 13 Juli 2021.

Sebaliknya, Vitamin D yang tinggi sangat baik untuk metabolisme otot. Setiap kali terjadi kerusakan otot, Vitamin D diperlukan untuk perbaikan. Tidak cukup hanya dengan protein.

Ia juga mengatakan, untuk mengetahui asupan atau kadar Vitamin D dalam tubuh telah optimal atau belum, diperlukan kontrol terhadap sejumlah aspek lain. Seperti kalsium dalam darah; kalsium pada urine; serta hormon yang dikeluarkan oleh paratiroid.

Ada beberapa cara memenuhi kebutuhan Vitamin D agar optimal. Salah satunya yakni berjemur di panas matahari atau mengonsumsi suplemen Vitamin D. Untuk mendapatkan Vitamin D terbaik selama berjemur, Henry menyarankan waktu antara jam 11 hingga 1 siang.

“Menurut hasil riset peneliti asal Boston yang datang ke Indonesia pada 2011, jam berjemur paling optimal, saat mana kadar Ultraviolet B maksimum didapat, bukan pagi hari, melainkan pada jam 11 hingga 1 siang,” tandasnya.

Selain itu, setidaknya 85 persen tubuh harus terpapar sinar matahari secara langsung. Jika terhalang baju atau objek lainnya, yang didapat tubuh hanya Ultraviolet A yang tidak membentuk Vitamin D.

Dr Henry menyampaikan, lama waktu berjemur juga dipengaruhi tipe kulit. Dari enam tipe kulit berbeda, mayoritas orang Asia Tenggara berada di urutan 4 dan 5. “Kita, kalau jemur, rata-rata perlu tiga sampai empat kali lebih banyak daripada bule-bule untuk mendapatkan Vitamin D yang sama. Itu susah. Makanya bisa kita ganti dengan konsumsi suplemen,” kata ia.

Facebook Comments

Comments are closed.