mepnews.id – Tiga pakar geofisika dari Departemen Teknik Geofisika di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) merancang instrumen pendeteksi dini tsunami. Alat yang dirancang Dr Ir Amien Widodo MSi, Juan Pandu Gya Nur Rochman SSi MT, dan Kharis Aulia Alam ST diberi nama SENOPATI (Sepuluh Nopember Pendeteksi Awal Tsunami).
SENOPATI masih pada skala laboratorium dan belum difungsikan langsung. Bekerjanya menggunakan prinsip refleksi gelombang, yakni ketinggian muka air diukur sensor untuk mendeteksi datangnya tsunami. “Tsunami menyebabkan air laut surut dulu sebelum kemudian memicu gelombang pasang sangat tinggi. Jadi, kalau ada air surut di waktu tertentu, itu tanda peringatan dini tsunami,” papar Amien.
Peneliti senior Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) ITS itu menjelaskan, prinsip refleksi gelombang diaplikasikan dalam sensor ultrasonik dan sensor doppler. Gelombang ultrasonik sendiri mampu mendapatkan jarak pemantul gelombang dengan menggunakan prinsip Time of Light atau ToF (metode yang digunakan untuk mengukur jarak antara sensor dan objek). Sensor doppler memanfaatkan gelombang ultrasonik yang ditembakkan kepada objek dengan kemudian menghitung pergeseran frekuensi yang diterima sebagai nilai kecepatan benda bergerak.
“Jadi apabila ketinggian muka airnya surut dengan cepat, alat ini akan memberi tahu bahwa akan ada tanda-tanda terjadinya tsunami,” kata lelaki 62 tahun tersebut. “Bila teridentifikasi penurunan ketinggian air dengan cepat, maka SENOPATI memunculkan warna merah dan buzzer menyala mengirimkan peringatan evakuasi.”
Pada penelitian tersebut, parameter kecepatan surut masih menggunakan nilai sintetis yang menyesuaikan ukuran dari model uji yang digunakan. Artinya, model uji coba belum menggunakan nilai asli dari kejadian di lapangan.
Dikatakan Amien, penelitian berlangsung sejak 2019 dan terus dikembangkan. Tujuan perancangan instrumen ini untuk membuat alat pendeteksi tsunami yang mudah diaplikasikan dan murah. “Indonesia pada dasarnya memiliki sistem pendeteksi dini tsunami bernama Buoy. Sayangnya, instrumen tersebut saat ini banyak yang hilang atau rusak karena ulah orang yang tidak bertanggung jawab,” kata Amien.
Oleh karena rancang bangun alat yang masih terbatas pada skala laboratorium, Amien memaparkan bilamana kendala atau kekurangan yang ada pada SENOPATI masih belum menampakkan masalah signifikan. Dari informasi Amien, evaluasi terhadap SENOPATI akan terus dilakukan seiring dengan pengembangan dan apabila alat bisa diterapkan langsung di lapangan atau di laut lepas.
Ke depannya, dosen Departemen Teknik Geofisika ini berharap agar SENOPATI dapat dimasukkan ke dalam lingkup penelitian yang lebih detail oleh ITS dan bisa mendapat pendanaan lebih lanjut. “Kami juga ingin membuat prototipe yang lebih baik dan kita diuji coba dengan ukuran yang lebih besar sehingga kita bisa tahu keandalan dari alat ini,” pungkas Amien. (HUMAS ITS)