mepnews.id – Prof Bagong Suyanto, pakar sosiologi Universitas Airlangga, menyebut sejumlah pelaku aksi teror belakangan ini dikarenakan paparan radikalisme di internet. Pemerintah sudah berupaya keras menyaring konten radikal, namun kaum muda harus lebih aktif menyaring informasi.
Aksi teror di gereja di Makasar dan Markas Besar Polri beberapa saat lalu disebut-sebut dilakukan secara lone wolf atau bergerak sendiri. Menurut Bagong, pelaku bertindak amatir, tidak ada target jelas, dan hanya didorong kondisi emosional. “Penyerangan lebih pada simbolik. Kan polisi dianggap musuh oleh mereka (teroris, Red).”
Menurutnya, lone wolf kebanyakan terjadi karena paparan radikalisme di internet. Pemerintah sudah memblokir situs-situs yang diduga menyajikan konten radikalisme, namun itu bukan langkah paling efisien. Pembuatan situs sangat mudah dilakukan. “Maka, kunci menghadapi ini adalah literasi kritis dari anak muda.”
Literasi kritis ini antara lain berupa tidak mudah percaya hoaks dan selalu mempertanyakan informasi dari internet atau dari sumber manapun.
Selain itu, ekspansi radikalisme dapat dicegah dengan peran aktif keluarga. Butuh mekanisme deteksi dini dari orangtua ketika mengetahui kejanggalan perilaku dan pemikiran anak. “Jangan berpikir kalau anak masuk kamar itu aman. Kalau anak yang nggak keluar-keluar, itu bisa bahaya,” kata Prof Bagong.
Serangan dari dunia maya tidak mudah dihindari. Habitus sosial anak juga turut mempengaruhi. Anak yang terlihat diam itu tidak dapat dikategorikan aman, karena serangan dimulai dari dunia maya dan tidak bisa diduga.