Oleh: Teguh Wahyu Utomo
MEPNews.id – Saya melihat semacam rumah panggung berdinding kayu di salah satu Desa Dayanginna, di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Pilar-pilarnya setinggi sekitar tiga meter. Bagian atasnya dipetak-petak kecil. Ada tangga kayu yang menghubungkan tanah dengan bagian atas rumah itu.
Meski bentuknya mirip rumah panggung, sejatinya itu kandang peternakan ayam. Maka, kalau dibolehkan, saya menyebutnya “kandang panggung”. Mirip rumah hunian manusia, tapi ini bagian atasnya lebih pipih dan luas.
Harusnya, ada kiriman ayam-ayam kecil untuk dipelihara dan dibesarkan di kandang panggung itu. Sebelum bibit ayam dikirim, tiba-tiba terjadi gempa pada 14 Januari. Pengiriman ayam dibatalkan, kandangnya disulap jadi tempat pengungsian.
Di tempat itu, ada Lenniwati K., lurah Dayanginna. Lurah wanita itu menjelaskan dengan sangat terpaksa menyulap kandang ayam menjadi tempat pengungsian. “Kami sudah tidak ada lagi tenda. Sudah terpakai semua, tapi masih kurang.”
Bagian bawah kandang panggung berukuran sekitar 10 x 30 meter itu ditata menjadi tempat tinggal umum. Di antara tiang-tiang, dipasang tali dan terpal sebagai dinding. Ruang yang terbentuk dipilah-pilah lagi. Ada satu ruang untuk tempat sholat. Ada satu ruang untuk pertemuan umum. Lainnya disekat-sekat untuk ruang tidur. Di dekat tangga, dibuat tempat MCK berdinding terpal plastik.
Tentu saja, penyekatan ruang di antara kaki-kaki kandang panggung itu sifatnya darurat. Jika ada angin kencang, terpalnya bisa berkibar-kibar. Jika ada hujan, air bisa berhamburan ke mana-mana. Tidak ada tempat penyaluran air yang sempurna di sekitarnya sehingga becek.
Yang menarik, saya tidak mencium aroma eek ayam dari tempat pengungsian itu. Tampaknya, sebelum diubah jadi tempat pengungsian, tanahnya sudah dibersihkan. Tentu saja masih kurang higienis. Namun, apa boleh buat. Kondisinya memang darurat.
Tempat itu ditinggali sekitar 50 keluarga yang anggotanya sampai ada sepuluh orang. Jumlahnya sulit dipastikan, karena ada yang keluar dan ada yang masuk. Yang tinggal di situ mulai dari bayi hingga manula.
Tidak hanya satu, tapi saya menghitung ada empat kadang yang dijadikan tempat pengungsian. Mungkin jumlah aslinya lebih banyak. Tempatnya tersebar cukup jauh jika ditempuh dengan jalan kaki.
Meski hidup dalam pengungsian, anak-anak tampak senang. Saat tim trauma healing Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) menjenguk mereka pada 27 Januari, umumnya mereka menyambut dengan riang.
Anak-anak juga bisa mengikuti ice breaking berupa game-game sederhana dan mengikuti afirmasi yang diberikan. Bahkan, mereka dengan riang menggambar di kertas tentang keinginan mereka bila dibolehkan pulang.
Syirin menggambar rumah dan dua tananam dengan tulisan ‘mena-nama bugan’ yang menunjukkan ia ingin menanam bunga setelah dibolehkan pulang. Aila menggambar rumah bercendela terbuka dengan dibubuhi tulisan ‘aku masuk rumah’. Arbani menggambar sosok anak berdiri, dengan tulisan ‘Arbani mau makan ice cream lagi.’ Dari 32 gambar yang terkumpul, tidak ada yang tampak menunjukkan ketakutan berlebih.
Yang tak kalah menarik, mereka saat antusias saat relawan RSTKA membagikan buku-buku sumbangan Rotary Club. Mereka berbagi buku kepada teman-teman sehingga masing-masing mendapat satu. Saat anak yang kecil membuka-buka halaman mencari gambar, anak yang lebih besar membaca dengan suara nyaring.
Meski demikian, ada juga yang memprihatinkan. Bu Lurah Lenniwati juga menunjukkan seorang wanita lansia yang butuh popok dewasa karena mengalami ambeyen berdarah. Penyakitnya kambuh saat ia harus mengambil dan mengangkat air dari sumber. Ada juga beberapa orang yang sakit bahkan sebelum gempa.