Oleh: Teguh W. Utomo
MEPNews.id – Bersiap menjadi relawan di kawasan gempa itu rasanya seperti tentara yang akan diterjunkan di medan tempur. Informasi dari lapangan sementara ini didapatkan dari marinir yang membuka jalan. Sebelum berjibaku sendiri di medan tempur, saya tidak tahu dengan mata kepala sendiri keadaan aslinya.
Saya tergabung dalam tim relawan Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA), untuk misi membantu korban gempa di Mamuju dan Majene di Sulawesi Barat. Saya terbang ke Makassar bersama dua relawan, dan seorang lainnya. Sementara, tentu saja, kapal RSTKA menempuh jalur laut.
Saat sudah berada di Makassar, saya juga belum paham betul kondisi lapangan di Sulawesi Barat. Tiga relawan lain; yakni apoteker Brisbane dan Afni serta relawan trauma healing Afin dari Psikologi Unair di Makassar juga lebih banyak mendapat info lewat WA grup dari relawan di lapangan.
Info yang sangat penting itu salah satunya terkait cuaca. Itu karena saya dari Makassar akan ikut rombongan kapal pinisi RSTKA ke Mamuju. Kapal akan tidak berangkat jika kondisi cuaca tidak memungkinkan. Lebih-lebih, cuaca di laut awal tahun lebih sering galaknya daripada ramahnya.
Kamis 21 Januari siang, saya bersama tiga relawan lain akhirnya bisa masuk kapal pinisi RSTKA. Sebelumnya, pada Rabu pagi, kami juga sudah berada di dermaga Paotere tempat kapal berlabuh. Namun, kami tidak bisa masuk karena kapal tidak bisa sandar.
Dari kejauhan tampak dr Agus Haryanto SpB direktur RSTKA melambaikan tangan memberi isyarat. Kami dari dermaga segera menuju kapal RSTKA. Namun, tidak segampang biasanya. Saya dan tiga wanita relawan harus melewati dua kapal untuk sampai ke tujuan.
Sembari masing-masing membawa dua ransel perlengkapan dan beberapa bawaan lainnya, kami melipir ke bibir batas pagar kapal satu ke bibir pembatas pagar lainnya. Lebar kayunya nggak sampai setengah meter, dan licin karena cuaca masih gerimis. Terpeleset, ya tercebur ke laut.
Untungnya kami dibantu awak dari kapal-kapal yang kami seberangi. Mereka antara lain membantu membawakan barang, dan memberi jalan saat harus melangkah dari satu bibir kapal ke bibir kapal yang lain. Akhirnya, kami berempat sampai dengan selamat.
Di kapal RSTKA, saya bertemu relawan lain. Selain dr Agus, saya bertemu Amiruddin PhD selaku dewan pengawas RSTKA dan Rizki dokumentator. Dari Rizki, saya dapatkan gambaran perjuangan kapal RSTKA menyusuri galaknya gelombang laut.
Berangkat dari Pelabuhan Kalimas Surabaya pada Subuh 17 Januari, kapal harus menghadapi gelombang besar. Melewati perairan selatan Madura, cuaca masih ramah. Saat di perairan sisi timur Madura, gelombang besar mulai terasa.
Kapal berhenti di Pulau Sapeken pada 18 Januari untuk isi bahan bakar, air bersih, dan bahan kebutuhan pokok. Dari Sapeken, kapal harus menghadapi gelombang lebih besar dan hujan di bagian timur laut Jawa. Kapal sampai di Makassar pukul 02.00 pada 20 Januari.
Cuaca memang menjadi kendala. Kapal tidak bisa sadar di dermaga Paotere karena banyak kapal lain yang ‘parkir’ di situ. Sebagian menunda keberangkatan karena cuaca belum memungkinkan. Ini membuat RSTKA berada di shaf ketiga barisan kapal.
Lalu, kapan kapal RSTKA berangkat ke Mamuju? Tentu menunggu izin dari syahbandar dengan mempertimbangkan kondisi cuaca.