Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id– Di Facebook, saya berteman dengan Pak Iman Budhi Santoso. Setelah pertemanan dikonfirmasi, saya langsung inbox meminta nomer HP beliau. Diberikan. Saya save. Rencananya, atau keinginan saya, jika suatu saat saya punya rejeki, saya ingin bersilaturahmi menemui beliau.
Ya, Pak Iman tinggal di Dipowinatan Yogyakarta. Bisa ditebak, jika saya ingin bertemu Pak Iman, pasti saya akan incar jadwal Cak Nun di Kadipiro Yogya yang sekaligus ada Pak Iman disana. Saat Cak Nun, Pak Iman, acara dengan Umbu di Bali, saya pas gagal kesana. Pak Iman merupakan salah satu sumber kehidupan yang ingin saya jumpai langsung, sungguhpun sekedar salaman.
Kemudian bisa ditebak pula, bahwa saya kenal nama Pak Iman, pasti dari informasi yang pernah disampaikan oleh Cak Nun. Tentu iya. Melalui tulisan Cak Nun yang berjudul Kehidupan Iman, Kehidupan Puisi, dari situlah pertama kali saya mengenal nama Pak Iman. Termasuk jika saya browsing nama Umbu Landu Paranggi, nama Pak Iman rata-rata selalu terbawa sebagai murid Umbu, berbarengan dengan sederetan nama seperti Emha Ainun Nadjib, Ragil Suwarno Pragolopati, dan lain-lain.
Termasuk kabar meninggalnya beliau, pada 10 Desember 2020 barusan, saya ketahui dari www.caknun.com. Situs ini memang selalu saya ikuti. Terutama untuk melihat tulisan dan video terbaru Cak Nun. Siang tadi saya membaca tulisan Cak Nun: Keindahan Namanya adalah Kemuliaan Hidupnya.
Serta tulisan Rony K. Pratama (Laku Mencatat Romo Iman Budhi Santoso/www.caknun.com) yang membuat saya tahu, bahwa awal Desember ini, buku Pak Iman telah terbit dengan judul Seni Mencipta Puisi: Menyingkap Rahasia dan Teknik Penciptaan Puisi dari Sang Maestro (Penerbit Circa).
Saya belum pernah bertemu Pak Iman secara langsung. Namun atas kabar meninggalnya beliau, saya turut kehilangan dan turut berduka cita. Allahummaghfir lahu warhamhu wa’a fihi wa’fu anhu. Meninggalnya Pak Iman, yang digambarkan Cak Nun begitu mulus, tentu saja membuat kita semua cemburu.
Saya pribadi selalu cemburu kepada siapa saja yang tatkala naza’ tiba, segala sesuatunya berjalan dengan tenang, mutmainnah. Sangat lembut dan halus menuju Allah. Kepergian Pak Iman benar-benar lembut selembut puisi.
Di paragraf terakhir itu, Cak Nun menuliskan: Kemudian mendadak Allah mengambil milik-Nya itu. Tidak melalui gejala atau sakit apapun. Begitu mulus dan sejati transformasi kehidupan Iman Budhi Santosa. Dari dunia yang makin dungu dan lalim, Allah menyegerakan memindahkannya ke sorga, karena cinta-Nya.
Hati saya merinding. Sebab apa, batapa jiwa saya masih begitu jauh untuk menuju keheningan, kelembutan, ketenangan, serta kehalusan yang begitu halus. Hamparan waktu begitu banyak. Akan tetapi praktik nyata dalam menabung sikap batin yang tenang, tak menggebu-gebu, sungguh saya masih nol dan pemalas.
Akhirul kalam, selamat jalan Pak Iman. Kematian yang begitu tenang dan tak merepotkan, sungguh membuatku cemburu. Sikap hidup lembut dan damai yang tak berubah sungguhpun berhadapan dengan kematian, sekali lagi, sungguh selalu membuatku cemburu.
Bertemu badan capek saja terkadang kita marah-marah. Apalagi bertemu kematian. Tenang atau panikkah kita saat itu? Wallahu a’lam. Semoga kita semua kelak khusnul khatimah. Amin. (Banyuwangi, 11 Desember 2020)