MEPNews.id – Marapi Consulting & Advisory bersama Program Studi Hubungan Internasional UPN “Veteran” Jawa Timur dan Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) menyelenggarakan diskusi kolaboratif webinar, 27 Nopember 2020, membahas RaPerpres tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Aksi Terorisme.
Dalam diskusi ini, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjadi keynote speaker. Tiga pembicara lainnya Prihandono Wibowo dosen HI UPN “Veteran” Jatim, Fitriani peneliti Departemen Hubungan Internasional di CSIS Indonesia, dan Beka Ulung Hapsara selaku Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM RI. Benny Junito, Direktur Eksekutif MARAPI, sebagai moderator.
Pemerintah telah menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden (RaPerpres) mengenai pelibatan TNI dalam upaya kontra terorisme. Berdasarkan UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No.34/ 2004 tentang TNI, disebutkan mengenai Reformasi TNI dalam tata kelola bidang keamanan. TNI berada di bawah koordinasi Menteri Pertahanan dan tidak dapat menugaskan diri sendiri seperti jaman Orde Baru. Semua keputusan politik berada di tangan Presiden/Menhan (otoritas politik) yang bergerak sebagai perwakilan otoritas sipil.
Sebagaimana rilis pers yang dikeluarkan Prodi HI UPN “Veteran” Jawa Timur, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjelaskan ketentuan konstitusional pengerahan TNI adalah harus berdasarkan perintah presiden sesuai peraturan perundang-undangan.
“Hanya berdasarkan perintah Presiden melalui pernyataan publik yang terbuka untuk kontrol publik dan DPR. Tidak ada yang dilaksanakan secara otomatis. Panglima TNI hanya dapat menentukan bagaimana cara melaksanakan tugas, samasekali tidak bisa membuat keputusan politik tentang apa yang harus diperbuat TNI sebagai awal penugasan,” kata Agus.
Agus menjelaskan, upaya kontraterorisme menggunakan kerangka penegakan hukum (criminal justice system) sudah berjalan cukup efektif. Jika terorisme terjadi di dalam negeri, itu menjadi tanggungjawab fungsi penegakan hukum seperti Polri dengan perbantuan TNI jika diperlukan. Jika terorisme terjadi di luar jurisdiksi sistem hukum nasional, maka itu menjadi tugas dan kewenangan TNI.
Agus menyatakan penerbitan perpres untuk TNI dalam peran menangani terorisme akan rawan tumpang tindih peran dengan berbagai lembaga lain seperti BNPT, Polri, Densus 88 dan lainnya. Maka, ia menyarankan agar rancangan perpres disempurnakan terlebih dahulu.
Sementara itu, Beka Ulung Hapsara menegaskan Raperpres pelibatan TNI dalam kontraterorisme perlu dibahas dan disempurnakan agar tidak salah langkah dan merusak kemajuan yang telah dicapai selama ini.
Menurutnya, Komnas HAM telah memberikan rekomendasi kepada presiden untuk menarik Raperpres dimaksud dari DPR atau tidak melaksanakan pembahasan dan penandatangan sebelum ada kebijakan yang jelas berdasarkan prinsip negara hukum dan norma HAM.
“Rekomendasi Komnas HAM kepada DPR antara lain mempertimbangkan dan menjadikan UU5/2018 sebagai dasar dalam pembahasan Raperpres dimaksud, serta menekankan fokus pembahasan pelibatan militer dalam Raperpres hanya pada penindakan semata dengan batasan yang jelas,” kata Beka Ulung Hapsara.
Prihandono Wibowo mempertanyakan efektivitas pelibatan militer dalam kontraterorisme. Menurutnya, lebih efektif menggunakan pendekatan penegakan hukum dan intelijen. “Pendekatan militer hanya efektif jika skala aksi terorismenya sudah naik menjadi penguasaan wilayah atau pemberontakan.”
Ia mengkhawatirkan terjadinya tumpang tindih wewenang dan operasi jika TNI dilibatkan dalam kontraterorisme. Selain itu, ada kecemasan dalam masyarakat sipil bahwa pelibatan TNI dalam kontraterorisme yang bukan bersifat perbantuan dapat menggeser peran TNI kembali ke masa silam.
Fitriani mengatakan, Raperpres pelibatan TNI harus ditinjau ulang. Ia memberikan tiga kritik; ruang lingkup dan persyaratan pelibatan TNI dalam kontraterorisme harus jelas, harus ada koordinasi operasional dan doktrinal antara TNI dengan unsur kontraterorisme lain, dan anggaran operasi hanya diperbolehkan dari APBN.
Fitri memberikan saran, “Pelibatan TNI dalam kontraterorisme diizinkan pada saat kondisi ekstrim dan kritis. Perlu ada koordinasi yang jelas dan standar kerja antara TNI dengan instansi-instansi kontraterorisme lainnya agar tidak terjadi masalah operasional.”