Menghadapi Pandemi COVID-19 di Sumba Timur

MEPNews.id – Andre Bayu Nugroho tak mengira keputusannya memperpanjang kontrak program dokter pegawai tidak tetap (PTT) akan membawanya merasakan situasi pelayanan kesehatan dengan fasilitas serba terbatas di masa pandemi COVID-19.

Semula, alumnus Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga angkatan 2011 itu hanya mengikuti program dokter PTT selama setahun Februari 2019 hingga Januari 2020 di Rumah Sakit Kristen (RSK) Lindimara, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Usai mengikuti program itu, ia berencana mendaftar pendidikan spesialis (PPDS). Sayang, rencananya tertunda karena pandemi. “Jadi, daripada nganggur, saya perpanjang durasi kontrak PTT sampai 31 Maret 2020, sambil menunggu pelaksanaan seleksi PPDS dibuka lagi,” ungkap arek Suroboyo itu.

Tak disangka, semakin hari jumlah orang yang terpapar virus Corona terus bertambah. Menurut data di situs covid19.nttprov.go.id, kasus positif pertama di NTT terdeteksi 10 April sebanyak satu orang. “Tapi, beberapa kabupaten lain juga melaporkan adanya kasus positif berdasarkan rapid test,” sambung Andre.

Guna menahan laju penyebaran virus Corona, pemerintah provinsi mengambil tindakan tegas. Antara lain, menutup area wisata, melarang pedagang kaki lima berjualan, memperketat akses perbatasan, serta memberlakukan karantina bagi pelaku perjalanan.

“Sejak akses perbatasan diperketat, beberapa bandara dan pelabuhan ikut membatasi aktivitas. Benar saja, saya yang seharusnya pulang akhir Maret lalu, batal karena sudah tidak ada pesawat masuk Waingapu. Kalau mau naik pesawat harus ikut rapid test, tapi nggak bisa karena alat testnya sedikit. Kapal juga jarang,” kenang Andre.

Kegiatan masyarakat yang memicu kerumunan, termasuk upacara kematian atau upacara adat lainnya, ditiadakan. “Di NTT, termasuk Sumba Timur, ada tradisi cium hidung. Namun, sejak pandemi bupati melarang untuk cium hidung dulu,” tambah Andre.

Andre melanjutkan, ada tiga rumah sakit yang ditunjuk Kementerian Kesehatan untuk menjadi rujukan utama menangani kasus positif Corona di NTT, yakni Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. T.C. Hillers, RSUD Dr. W.Z. Johannes, serta RSUD Komodo.

Selain tiga rumah sakit tersebut, pemerintah provinsi juga menyiapkan sejumlah rumah sakit di setiap pulau sebagai alternatif rujukan. “Untuk Pulau Sumba, ada RSUD Umbu Rara Meha (URM) di Sumba Timur dan RSUD Waikabubak di Sumba Barat,” ujarnya.

“Namun, karena fasilitas kesehatan Sumba terbatas, kami di RSK Lindimara bersama dua rumah sakit lain di Sumba Timur, berfungsi menjadi tempat transit jika terdapat kasus mengarah ke virus Corona atau ikut membantu apabila RSUD URM overload,” terangnya.

Sejak ditetapkan sebagai salah satu rumah sakit penyangga, manajemen RSK Lindimara menerapkan beberapa aturan baru. Yakni, meniadakan jam kunjungan, membatasi penunggu pasien hingga melakukan screening di area poli serta unit gawat darurat (UGD).

“Kami pun merombak poli tuberculosis yang berada di luar bangunan lain untuk tempat transit,” tutur Andre.

Pihak RSK Lindimara juga membuat faceshield, menyediakan masker, serta membuat handrub secara mandiri untuk menjaga kesehatan para staf dan pasien yang berkunjung.

Meski bukan merupakan rumah sakit rujukan utama, Andre tidak menampik RSK Lindimara sempat mengalami sejumlah kendala, terutama di awal masa pandemi corona. “Kendala kami, antara lain, kesulitan menegakkan diagnosa. Jadi kemungkinan ada banyak kasus, cuma tidak terdeteksi,” beber pemuda yang berniat menjadi ahli bedah ini.

Kesulitan diagnosa tersebut, kata Andre, disebabkan minimnya alat test. Oleh karena itu, pemerintah provinsi lebih memprioritaskan masyarakat yang telah terindikasi Corona. “Selain itu, kami juga sempat kesulitan mengirim sampel test ke Jawa karena maskapai yang masuk Waingapu terbatas dan mereka tidak bersedia membawanya,” terang Andre.

Namun, dari informasi terakhir yang diperoleh Andre, saat ini pemerintah provinsi NTT sedang berupaya untuk meningkatkan kapasitas pemeriksaan, baik menggunakan rapid test maupun polymerase chain reaction (PCR) atau swab test. “Kemudian, sampel test juga tidak perlu dikirim ke Jawa lagi, melainkan ke Kupang,” imbuh penghobi traveling itu.

“Kemudian, pada awal pandemi RS harus cari alat pelindung diri secara mandiri (APD) karena sulit mendapatkannya. Setelah itu, baru diberi bantuan dinas kesehatan,” urainya.

Andre pun ikut diminta untuk membantu screening COVID-19, khususnya pada pelaku perjalanan yang baru datang dari luar Sumba Timur, baik dengan kapal maupun pesawat.

Screening dilakukan secara terpusat di lapangan pacuan kuda Prailiu, Waingapu. Saya dan dokter umum di Sumba Timur, membantu pemerintah daerah untuk men-screening pelaku perjalanan. Kalau ada yang bergejala dan reaktif, kita kita isolasi mereka,” jelasnya.

Andre menambahkan, seiring dengan peningkatan kasus positif, pemerintah bersama tim dokter dari RS serta Puskesmas setempat juga terus melakukan sosialisasi ke masyarakat.

Setelah dua bulan menanti, Mei lalu, Andre akhirnya mendapat kabar ada pesawat yang menyediakan penerbangan. “Kebetulan ada dua kali flight yang masuk ke Waingapu dalam seminggu. Tapi, untuk ke Surabaya, saya harus transit satu minggu di Koe,” katanya.

Meski sempat merasakan kondisi yang tidak pasti, Andre bersyukur karena dirinya dapat pulang ke rumah dengan selamat. Ia pun berpesan, agar pemerintah daerah, terutama yang mempunyai sumber daya terbatas untuk mencegah COVID-19 lewat upaya preventif.

“Pemerintah harus segera mengambil kebijakan-kebijakan yang tegas demi mencegah lonjakan kasus COVID-19 di daerahnya. Selain itu, harus ada pemerataan dan percepatan dalam menegakkan diagnosa. Kemudian, untuk masyarakat supaya bisa rendah hati, mau mendengar, serta melaksanakan apa yang diarahkan oleh pimpinan kita,” kata ia. (*)

Facebook Comments

Comments are closed.