MEPNews.id – Belakangan ini, herd immunity atau kekebalan kelompok banyak diperbincangkan berkaitan dengan pandemi Covid-19 di Indonesia. World Health Organization (WHO) telah memperingatkan teori herd immunity sangat berbahaya dijadikan strategi mengatasi pandemi Covid-19.
Laura Navika Yamani SSi MSi PhD, dosen epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM UNAIR), menjelaskan, herd immunity adalah bisa dicapai ketika tingkat imunitas komunitas tersebut tinggi.
“Konsep herd immunity paling tepat digunakan dalam praktik vaksinasi. Ketika populasi mendapatkan cakupan vaksinansi tinggi, artinya dapat melindungi kelompok minoritas yang tidak tervaksinasi,” ucap Laura.
Cakupan vaksinasi itu bergantung dari tingkat daya tular virus atau penyakit infeksi atau yang dikenal dengan reproduction number (R0). Semakin tinggi daya tular atau R0, maka cakupan vaksinasi juga harus tinggi.
Laura mengatakan, Covid-19 memiliki R0 mencapai dua sampai empat. Artinya, 1 orang terinfeksi bisa menularkan ke dua sampai empat orang. “Jadi, mencapai herd immunity harusnya ada sekitar 50 persen populasi harus mendapatkan vaksin Covid-19,” jelasnya.
Hanya saja, herd immunity sekarang berkembang maknanya seperti proses pembiaran. Artinya, orang dibiarkan terpapar secara alami dengan Covid-19 untuk membentuk kekebalan individu secara maksimal sampai memperoleh tingkat herd immunity.
Menurut Laura, jika Indonesia dengan penduduk 270 juta jiwa menerapkan konsep herd immunity untuk Covid-19, bukan dengan vaksinasi tetapi pembiaran agar terpapar secara alami, maka harus ada sekitar 50 persen orang yang terinfeksi alami atau sakit Covid-19 yaitu sekitar 135 juta jiwa.
Dengan mengikuti data global, yang menjadi parah bisa sekitar 30 persen atau 40 juta jiwa lebih. Jumlah sebanyak ini tentu membutuhkan penanganan khusus, termasuk petugas medis, ruang isolasi, ventilator. Indonesia harus memiliki fasilitas tersebut.
“Jika tidak, tingkat kematian akan tinggi karena pasien-pasien tersebut tidak tertangani. Jika bisa menekan penyebaran, sebetulnya bisa mengurangi beban petugas medis dan fasilitas yang dibutuhkan. Jumlah kasus kematian dapat ditekan,” tuturnya.
Ia menilai Indonesia tetap pada track yaitu melakukan upaya pencegahan penyebaran dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain itu, melakukan monitoring serta evaluasi bahwa penerapan PSBB memberikan outcome sesuai indikator keberhasilan yang ingin dicapai.
“Intinya adalah kebijakan melakukan pembatasan pergerakan orang dan didukung kebijakan penerapan protokol kesehatan oleh masyarakat. Intervensi-intervensi tersebut diharapkan dapat memutus mata rantai penularan Covid-19. Selain itu juga mempercepat proses 3T (test, treat, dan tracing), sehingga kasus positif dapat segera diisolasi dan tidak menjadi sumber penularan yang meluas,” kata ia.