MEPNews.id – Jumlah perceraian di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistika (BPS), meningkat tiap tahunnya. Pada 2015 terjadi 353.843 perceraian, pada 2016 jadi 365.654 perceraian, pada 2017 jadi 374.516, dan 2018 ada 419.268 kasus.
Padahal, perceraian bisa memberi dampak mendalam bagi suami, istri, dan anak-anak. Antara lain stres, perubahan mental dan ganguan fisik. Peristiwa perceraian juga dapat membuat anak larut dalam konflik orangtua, kebingungan, serta kehilangan figur peran orangtua.
Dr. Hamidah, M.Si., Psikolog., dari Universitas Airlangga menyarankan, meski konflik atau perceraian harus terjadi pada orangtua, diharapkan mereka tetap dapat menjaga perhatian pada anak dengan seimbang.
Tingkat stres yang dialami anak bergantung dari beberapa hal. Antara lain pola asuh, perasaan kehilangan salah satu figur, persepsi anak pada orangtua, dan lainnya. “Meski demikian, perhatian yang seimbang dari orangtua dapat mengurangi beban si anak,” ungkapnya.
Hamidah menerangkan, stres kadang muncul dengan tidak disadari secara penuh sehingga tidak terkelola dengan baik. Berat dan ringannya stres pada anak bergantung pada bagaimana orangtua memberlakukan anak dan bagaimana anak mempersepsikan perilaku orangtuanya. Stres itu hal yang perseptual.
Selain stres, perilaku tertentu akibat perceraian juga dapat muncul seiring perubahan kondisi yang dialami anak. Antara lain kekecewaan tidak lagi bisa bersama orangtua, kekecewaan tidak terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikologis, muncul perilaku agresif, menghindar, menentang, melarikan pada kegiatan di luar rumah, dan lainnya.
Menanggapi hal tersebut, ada metode terapi bermain yang bisa menjadi solusi untuk menurunkan tingkat stres pada anak. Terapi bermain merupakan model untuk membangun proses interpersonal pada anak. Itu karenakan bermain merupakan cara alami bagi anak untuk belajar dan berinteraksi dengan orang lain.
“Usia anak-anak adalah dunia bermain. Jadi, ketika mengalami kondisi yang tidak menyamankan dan kurang membahagiakan anak itu, kita bisa bantu dengan terapi bermain,” ujarnya.
Terapi bermain dapat dilaksanakan terapis yang sudah terlatih dengan menggunakan kekuatan terapeutik bermain. Ini untuk membantu anak mencegah atau menyelesaikan kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan serta pengembangan optimal.
Wujud terapinya sangat banyak. Bisa dengan mewarna, menggambar, bermain peran, dan membangun sesuatu. Bahan yang digunakan juga bermacam-macam, antara lain kertas, alat rumah tangga, pewarna, plastisin, dan lainnya.
“Masing-masing mainan akan memberikan stimulus pada anak itu untuk mengekspresikan perilaku tertentu,” paparnya.
Sebelum menjalankan terapi, sang terapis membuat penilaian untuk menyesuaikan antara keahlian dan metode apa yang paling tepat untuk diberikan pada anak. Terapinya disesuaikan dengan permasalahan atau stres masing-masing anak. Dari penilaian tersebut, terapis menentukan intervensi yang digunakan, lama sesi, siapa saja yang terlibat, fasilitas dan sarana yang dibutuhkan.
Pertemuan terapi tidak hanya dilakukan satu kali, namun dengan beberapa sesi tergantung pada kondisi. Stres dalam kategori ringan dapat diberikan 2-3 sesi. Jika persoalannya lebih dalam, misalnya ada kekerasan dalam rumah tangga, maka diperlukan 5-6 sesi terapi bermain.
Dalam setiap pertemuan, proses healing tidak hanya dengan bermain, namun juga dengan diskusi, dialog, dan bercerita. Hal itu menjadi kesempatan bagi terapis untuk menggali informasi lebih banyak, karena anak dapat bercerita lebih leluasa. Kemudian, terapis melakukan monitoring melalui pre-test dan post-test sebagai alat ukur tingkat keberhasilan terapi.
“Anak bisa bikin macam-macam. Dari situ, terapis memberikan pertanyaan terapeutik. Jadi, ketika si anak bercerita, ada efek bisa melepaskan emosi-emosi yang selama ini mungkin belum terlepaskan,” jelasnya.
Hamidah mengungkapkan, ada dua dasar yang seringkali digunakan sebagai pendekatan dalam terapi bermain, yakni psychodinamic dan humanistik theory. Strategi dan proses yang merujuk pada setiap pendekatan akan tergantung dari keahlian setiap terapis. (*)