MEPNews.id – Wacana Omnibus Law yang dirancang pemerintahan Jokowi-Ma’ruf menuai pro dan kontra dari beberapa kalangan. Penggabungan 79 undang-undang (UU) dengan 1.244 pasal yang saling berkaitan menimbulkan beberapa perdebatan.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga, Ekawestri Prajwalita Widiati, SH, LL.M. memberikan pendapatanya saat ditemui 5 Februari 2020 di kampus.
Menurutnya, konsep Omnibus Law itu sendiri merupakan teknik perancangan yang menggabungkan beberapa perundang-undangan dalam satu paket dengan tujuan meningkatkan aksesibilitas peraturan perundang-undangan. Produk hukum tersebut memiliki bentuk yang sama dengan UU lainnya.
“Pendekatan seperti ini relatif baru, mengingat sebelumnya perancangan kita sangat sektoral,” ungkapnya.
Wiwid, sapaan karibnya, menyebut produk hukum di Indonesia yang kabarnya mencapai 65 ribuan sangat membutuhkan reformasi regulasi agar mendorong kepastian hukum dan efektifitas dalam pembangunan, dan bukan sebaliknya. Produk hukum yang masih sektoral dari zaman Belanda juga belum memudahkan.
Wiwid mengungkapkan, Omnibus Law yang banyak diterapkan di negara bersistem hukum common law berhasil memangkas jumlah peraturan dengan menggabungkan banyak aturan sehingga secara konsisten diterapkan sebagai salah satu kebijakan reformasi hukum.
“Penolakan di masyarakat terhadap ide omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja karena secara substantif masih belum memihak para kaum pekerja,” ujarnya.
Ia juga menambahkan, belum ada penjelasan tentang hapusnya sanksi pidana bagi perusahaan di RUU tersebut. Padahal, jenis sanksi itu dikenal di UU Ketenagakerjaan. Maka, pekerja menginginkan kepastian hukum atas aturan baru yang akan menggantikan aturan lama.
Terlepas dari permasalahan itu semua, Wiwid berpendapat Omnibus Law merupakan tantangan bagi pembentuk UU. Jumlah pasal yang sangat banyak tentu menuntut konsistensi dan kerja ekstra. Pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi dalam mewujudkan penegakan hukum yang mampu mendorong kesadaran dalam masyarakat.
Ia menyatakan, Omnibus Law dapat memecah permasalahan penegakan hukum di Indonesia. Tuntutan seperti hukum pidana dan perdata mampu dipertegas kembali dalam Omnibus Law. (*)