Oleh: Teguh Wahyu Utomo
MEPNews.id – Era globalisasi dan teknologi informasi membuat segalanya serba cepat. Rasanya, aneh jika harus menunda-nunda kesenangan saat kesempatan itu sudah ada di depan mata. Pingin baju, beli saja sekarang dengan kartu kredit. Makanan tak perlu repot-repot bikin sendiri, karena bisa pesan online dengan nge-click tombol di laptop atau ponsel. Bersenang-senang saja sekarang, belajarnya belakangan. Tantrum, ngambek, atau mewek saja dulu saat ingin sesuatu, toh sebentar lagi pasti orangtua membelikan. Nah, pemikiran kita (dan anak-anak kita) saat ini sudah dijejali keyakinan bahwa kita bisa mendapatkan kesenangan dengan cepat tanpa menunda-nunda.
Lantas, apa tak boleh kita mendapatkan kesenangan secara instan saat kita inginkan?
Ya boleh-boleh saja. Tapi, mendapatkan kesenangan secara instan itu banyak bahayanya. Antara lain, kita jadi tidak bisa menghargai nilai-nilai kerja keras, kita jadi tidak bisa mengendalikan nafsu, jadi boros, jadi manja, kalau gagal maka kita jadi gampang putus asa, dan sejenisnya. Untuk jangka panjang, kondisi semacam ini bisa sangat menghancurkan mental kita.
Lalu, apa cara yang lebih baik? Tentu saja, tirakat. Menunda mendapatkan kesenangan kecil saat ini untuk mendapatkan kebahagiaan lebih besar dan hakiki pada masa datang.
Filsuf terkenal Aristoteles, pada sekitar tahun 300 SM, menyebut banyak orang tidak bahagia karena tidak bisa membedakan antara kesenangan dan kebahagiaan. Kesenangan itu sifatnya instan, sesaat, jangka pendek. Kebahagiaan, menurut Aristoteles, adalah mengembangkan kebiasaan untuk menumbuhkan mental yang memungkinkan kita bergerak menuju potensi terbesar kita. Untuk bisa mendapatkan kebahagiaan sejati kita perlu menunda kesenangan, melatih kesabaran, dan menjaga kedisiplinan.
Secara ilmiah, Profesor Walter Mischel dari Stanford University di Amerika Serikat menyelidiki manfaat delayed gratification (menunda kesenangan) ini dalam riset berupa marshmallow test selama 40 tahun. Hasil riset ini dimuat dalam Journal of Personality and Social Psychology, edisi Februari 1972, dengan judul ‘Cognitive and Attentional Mechanisms in Delay of Gratification’.
Dalam penelitiannya, anak-anak ditempatkan dalam ruangan lalu diberi satu kue marshmallow di atas piring. Ia memberi instruksi sederhana: “Kau boleh makan marshmallow itu sekarang, atau menunggu 15 menit untuk mendapatkan dua marshmallow.”
Penelitian menemukan, anak-anak yang mau menunggu marshmallow kedua tanpa terburu-buru memakan marshmallow pertama ternyata mendapat skor lebih tinggi pada tes standar, memiliki kesehatan lebih baik, dan lebih kecil kemungkinannya memiliki masalah perilaku.
Jadi, apa manfaat tirakat alias delayed gratification itu?
Anak-anak jadi lebih bisa mengontrol diri saat muncul aneka keinginan. Kontrol diri semacam ini sangat penting dalam kehidupan sehari-hari terutama saat harus mengambil keputusan. Anak-anak yang mau tirakat juga bisa tumbuh dengan tingkat motivasi diri lebih tinggi daripada anak yang suka keburu nafsu.
Pelajaran dari 40 tahun marshmallow test di Stanford University adalah menunda kesenangan instan saat ini bisa menyebabkan kesuksesan lebih baik di kemudian hari sehingga berbuah kebahagiaan hakiki. Tirakat alias delayed gratification adalah salah satu tindakan pribadi paling efektif bagi orang sukses di masa datang.
Maka, mari kita latih diri sendiri anak-anak untuk berani tirakat.
Penulis adalah praktisi media, provokator literasi, yang bisa ditengok di cilukbha@gmail.com, facebook@teguh.w.utomo, atau instagram@teguh_w_utomo