Oleh: Aluna Dovincha Vilonycha Chisvya
SD Islamiyah Magetan
MEPNews.id – Celotehan para penjual dan pembeli langsung terdengar ketika memasuki Pasar Penampungan Magetan.
“Sak until piro sawine (satu ikat sawi berapa harganya), Yu?” aku dengar seorang pembeli menanyakan harga satu ikat sawi yang ada di depannya.
“Limang ewu (lima ribu),” jawab penjual.
Selesai sholat subuh, saya ikut Ibu pergi belanja ke Pasar Penampungan. Hari masih gelap. Kulihat ke atas, mendung begitu hitam mengumpul. Kuikuti langkah Ibu yang membawa tas belanjaan kosong di tangannya.
Sambil berjalan kuedarkan mataku ke setiap lapak penjual aneka kebutuhan. Ada yang menjual aneka sayur. Sawi hijau, sawi putih, kentang, tomat, ketela, bawang merah, bawang putih, lombok, ayam potong dan banyak sekali lainnya. Ya. Pasar Penampungan ini tempat orang menjual dan membeli. Petani sayur dari sekitar Magetan, seperti dari Plaosan, Panekan, Parang, hingga Sidorejo, mengirim hasil panen ke pasar ini untuk dijual. Juga ada pembeli dari luar Magetan yang kulakan di pasar ini.
Kegiatan dimulai sekitar pukul 4 sore. Semakin malam semakin ramai. Para penjual sayuran dari daerah datang menjelang malam. Pukul 2 malam, para penjual ethek (penjual sayur keliling yang menggunakan sepeda motor atau mobil) berdatangan untuk kulakan.
Kulihat Ibu menghampiri penjual sayuran lalu mengambil satu genggaman besar serai.
“Piro serai sak mene (berapa serai segini), Yu?” tanya Ibu.
“Kalih ewu mawon (dua ribu saja bu), Bu,” jawab penjual.
Ibu mengambil dua ikat. Tak mencoba menawar, dikeluarkan dari dompetnya dua lembar uang dua ribuan lalu diserahkan ke penjual. Kemudian, Ibu mendekati penjual ikan laut. Kulihat banyak ikan segar di situ. Dari beberapa jenis yang dijual, hanya dua yang aku tahu (karena dua jenis ini sering digoreng Ibu) yaitu ikan lele dan ikan bandeng. Aku biarkan Ibu memilih ikan yang akan dibeli, sedangkan aku melihat-lihat sekeliling.
Mataku berhenti pada dua laki-laki yang membawa gitar kecil. Pengamen. Entah lagu apa yang dinyanyikan. Belum selesai satu lagu, si pengamen sudah diberi uang oleh pedagang di situ lalu ia ngamen lagi di pedagang lainnya. Lucu juga. Pagi-pagi kok sudah ngamen.
Selesai menimbang ikan yang dibeli, Ibu mengajakku berjalan lagi.
“Ayo kita cari sukun. Ibu ingin menggoreng sukun. Musim hujan begini enak menggoreng sukun,” kata Ibu sambil menggandeng tanganku.
Kuanggukkan kepalaku tanda setuju.
Kami kemudian berjalan melewati beberapa penjual dan pembeli yang tawar-menawar. Di kejauhan kudengar suara gemuruh kios penjual daging. Kutanyakan pada ibuku, “Buk, suara apa itu kok keras sekali?”
“Oh…, itu penggilingan daging untuk membuat bakso,” jawab ibuku.
Kulihat memang banyak bapak-bapak antri di depan penggilingan daging. Mungkin mereka penjual bakso.
Kami meneruskan perjalanan mencari sukun. Ibu paling suka jenis camilan ini. Biasanya ibu menggoreng sukun dengan dicelupkan ke adonan tepung, gula dan santan. Rasanya manis gurih. Saya tak begitu suka. Kalaupun saya makan camilan ini, biasanya saya ambil tepung yang melekat pada sukunnya. Sedangkan sukunnya sendiri tidak saya makan.
Cukup lama untuk mencari buah yang satu ini. Perjalanan kami sempat terhenti karena macet. Saya lihat penyebab kemacetan adalah pickup berhenti menurunkan daging sapi. Hal itu menyebabkan kendaraan yang mau masuk dan keluar tidak bisa bergerak. Jalan yang memang sempit menjadi semakin sempit karena tukang ethek juga memarkir kendaraan di pinggir jalan. Ada yang tidak sabar dan mencoba untuk mencari celah jalan.
Aku dan Ibu cukup sabar menunggu hingga penurunan daging selesai. Kami berjalan lagi hingga menemukan penjual buah sukun. Waah Ibu kegirangan sekali. Yang menjual adalah seorang nenek. Si nenek menjual aneka sayur mulai kacang panjang, sayur kluwih, labu siam, daun pisang, pete, jeruk besar dan sukun
“Mbah, sukunne niki pinten (Mbah harga sukunnya berapa)?” tanya Ibu.
“Kalih selangkung, Bu (dua, dua puluh lima ribu),” jawabnya.
“Kulo tumbas setunggal mawon (saya beli satu saja), Mbah,” kata Ibu sambil memilih sukun yang kira-kira sudah tua. “Pinten?”
“Kalih likur (dua puluh dua),” jawabnya.
“Lho Mbah, mosok kalih likur? Setunggal (Lho Mbah, apa benar dua puluh dua? Belinya satu saja),” Ibu agak kaget dengan jawaban Mbah.
Menyadari ada yang keliru, Si Embah tertawa. Hehehe. Gigi embah sudah banyak yang ompong.
“Rolas ewu limang atus (dua belas ribu lima ratus),” jawabnya.
Sekali lagi Ibu tak menawar harga sukun. Mungkin kasihan pada Si Embah, dikeluarkannya uang dua belas ribu lima ratus dari dompetnya.
Iseng-iseng aku bertanya kepada Si Embah. “Mbah, nek teko pasar mriki jam pinten (Mbah tiba ke pasar ini pukul berapa)?” tanyaku menggunakan basa jawa campuran krama alus.
“Wooo, aku teko kene jam loro mbengi (aku datang di pasar ini pukul 2 malam),” jawab Mbah dengan semangat.
“Haaah, ora ngantuk Mbah?” tanyaku lagi.
“Yo ngantuk, Ndhuk,” sambil tertawa terkekeh-kekeh Si Embah menjawab pertanyaanku.
Aku juga ikut tertawa.
Si Embah katanya datang di pasar pukul 2 malam dan pulang pukul 10 siang. Terkadang dia tidur dulu setelah sampai pasar. Yang tidak sempat saya tanyakan adalah bagaimana kalau musim hujan seperti ini. Si Embah jualan di depan pleseran atau jalan masuk pasar sayur Magetan. Semoga jualannya tetap laris ya Mbah.
Selesai membeli sukun, Ibu mengajakku pulang. Ketika sampai di tempat parkir sepeda motor, awun-awun mulai turun. Semakin lama semakin lebat. Kami sepakat tetap pulang. Tak berteduh. Di perjalanan hujan agak deras, ibu mempercepat jalannya sepeda motor. Alhamdulillah menjelang sampai rumah hujan telah berhenti.
Ikut ibuku belanja ke Pasar Penampungan Magetan menjadi pengalaman yang berkesan untuk saya.