Doxycycline Dosis Rendah untuk Fotosensitiser

MEPNews.id – Dewasa ini metode terapi dengan Photodynamic Therapy (PDT) banyak diaplikasikan. Salah satunya pada terapi penyakit gigi yang disebabkan bakteri. PDT merupakan metode yang digunakan untuk menghilangkan sel berbahaya atau tidak dikehendaki, termasuk kanker dan bakteri penyebab infeksi.

Kombinasi cahaya dan fotosensitiser tertentu pada PDT akan menyebabkan fotoinaktivasi pada bakteri, yaitu penghambatan aktivitas metabolisme sel. Ini terjadi karena kerusakan membran sitoplasmik akibat peroksidasi oleh oksigen reaktif.

Mekanisme fotoinaktivasi melibatkan proses fotosensitisasi, yaitu proses penyerapan cahaya oleh molekul yang bersifat fotosensitiser (porfirin) pada bakteri yang selanjutnya mengaktivasi terjadinya reaksi kimia menghasilkan berbagai spesies oksigen reaktif. Fotosensitiser adalah zat pengabsorpsi cahaya dalam PDT. Umumnya fotosensitiser yang digunakan adalah methylene blue. Berbagai literature menunjukkan fotosensitiser itu bersifat toksik.

Dr. Suryani Dyah Astuti, M.Si mengencerkan doxycycline di laboratorium Biofisika dan Fisika Medis FST UNAIR Kampus C. (Foto: Asthesia Dhea)

Berawal dari itu, Dr. Suryani Dyah Astuti, M.Si., bersama tim peneliti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga (UNAIR) yakni Prof Ernie Maduratna Setiawatie, memanfaatkan doxycycline dosis rendah sebagai fotosensitiser.

Doxycycline merupakan obat golongan antibiotik tetrasiklin yang digunakan untuk sejumlah infeksi bakteri. Doxycycline dalam dosis biasa atau harian banyak dipergunakan karena memiliki spektrum yang luas pada efek kemanjuran antibiotik. Dibandingkan dengan jenis antibiotik tetracycline lainnya, doxycycline memiliki rentang lebih luas pada jenis mikroba Gram-negative dan Gram-positive.

Pemberian doxycycline dosis rendah untuk inaktivasi bakteri dapat meminimalisir efek samping sebagai antibiotik dan tidak menyebabkan bakteri menjadi resistan. Spektrum absorpsi cahaya dari doxycycline terletak pada spektrum panjang gelombang cahaya tampak 380-780 nm, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agen fotosensitiser.

Penelitian doxycycline ini melalui tahap in vitro, in vivo dan klinis.

Pada tahap in vitro, doxycycline diujicobakan pada bakteri penyakit gigi (planktonik) dan biofilm. Hasil penelitian menunjukkan, doxycycline 0.1% pada bakteri (planktonik) menunjukkan aktivitas sensitif, sedangkan pada biofilm menunjukkan adanya resisten. Hal ini disebabkan karena doxycycline tidak mampu menembus pori biofilm, sehingga pada dosis yang rendah tidak sensitif.

Pada uji in vivo yaitu pada hewan coba model periodontitis, mpenggunaan doxycycline dan dentolaser menunjukkan adanya perbaikan jaringan secara signifikan berdasarkan hasil uji histopatologi anatomi (HPA).

Pada penelitian tersebut, doxycycline yang digunakan meliputi dua ukuran partikel yakni mikro dan nano. Pada skala mikro, doxycycline diencerkan dengan aquades. Pada skala nano, doxycycline dibuat dalam skala nano secara mekanis dan filtering kemudian diencerkan dengan aquades.

“Justifikasi ukuran nano menggunakan pengujian Particle Size Analyzer (PSA) dan spektroskopi infra merah untuk mengetahui gugus fungsi masing-masing molekul. Pengujian spectrum serap dengan spektroskopi UV Visible menunjukkan adanya pergeseran panjang gelombang dari ukuran mikro ke nano. Kemampuan serapan energi cahaya ini sebanding dengan efektivitasnya untuk inaktivasi bakteri,” jelas dosen peminatan Biofisika dan pada Fisika Medis Departemen Fisika Universitas Airlangga tersebut.

Dr. Dyah menambahkan, penelitian menggunakan doxycycline 0.1% karena pada dosis itu berdasarkan hasil uji pendahuluan menunjukkan resistensi bakteri dan doxycycline berperan sebagai agen penyerap cahaya (fotosensitiser). Serbuk doxycycline dilarutkan dalam aquades sesuai konsentrasi, selanjutnya diinkubasi pada kultur bakteri yang selanjutnya dilakukan pemaparan dentolaser.

Penggunaan doxycycline 0.1% sebagai fotosensitiser dengan activator dentolaser 405 nano meter (nm) menunjukkan efektivitas fotoinaktivasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan doxycycline saja. Hasil dari penelitian in vitro doxycycline menunjukkan adanya perbedaan efikasi pada masing-masing treatment. Penggunaan laser saja mampu mereduksi biofilm sekitar 31%. Penggunaan mikro doxycycline dengan laser itu sekitar 60%, sedangkan nano doxycycline dengan laser itu 80%.

Berdasarkan keberhasilan hasil uji in vitro dan in vivo maka dilanjutkan dengan uji klinis pada kasus periodontitis yang dilakukan oleh Prof. Ernie Maduratna S. Hasil uji klinis dengan dioxycycline dan dentolaser menunjukkan hasil yang sangat baik.

Dengan adanya penelitian tersebut, Dr. Dyah berharap ke depan semakin banyak produk inovasi yang dihasilkan. Inovasi tidak harus dimulai dari high technology, tapi dimulai dari hal sederhana di sekitar kita untuk bisa menjadi produk inovatif dan bermanfaat bagi masyarakat.

“Justru itu yang kita perlukan itu terutama untuk terobosan-terobosan inovasi pada dunia kesehatan. agar biaya pengobatan bisa terjangkau masyarakat,” kata ia. (HUMAS UNAIR)

Facebook Comments

Comments are closed.