MEPNews.id – Saat ini, Indonesia memasuki era awal Revolusi Industri 4.0 yang menekankan perubahan berbagai sektor karena teknologi digital. Dampak dari kondisi itu tidak dapat dihindari dalam bidang sektor kesehatan.
Wakil Rektor I Universitas Airlangga, Prof. Djoko Santoso, Dr., PhD., Sp.Pd.K-Gh.Finasim memberikan pendapatnya mengenai dampak perubahan itu.
Dalam acara Seminar Nasional Revolusi Industri Kesehatan 4.0 (12/11/2019), Prof. Djoko menjelaskan pentingnya manajemen beban penyakit dan kebutuhan layanan teknologi kesehatan.
Beban penyakit yang ada di Indonesia dibilang cukup banyak dengan beberapa kasus. Salah satunya kejadian luar biasa (KLB) difteri yang terjadi pada tahun 2017 berjumlah 561 kasus dengan jumlah korban meninggal 32 orang.
Kasus seperti ini (difteri, Red) jika tidak ada penanganan maka akan menjadi beban yang terus berlanjut, ungkapnya.
Prof. Djoko menambahkan masalah BPJS dengan lima penyakit katastropik masih jauh dengan kata sejahtera. Penyakit jantung misalnya meningkat dari 4,1 juta ke 5,1 juta pada 2016 dengan beban biaya 40 juta setiap orang pertahun.
Anggaran biaya cuci darah juga mengalami kenaikan pada 2017 dari 3,9 triliun menjadi 4,6 triliun.
Dengan beban biaya tersebut, anggaran BPJS tidak selalu mampu menutupi. Pada tahun 2017 anggaran BPJS mengalami defisit hingga 9,8 triliun dan pada 2018 naik menjadi 16,5 triliun.
Pada era Revolusi Industri 4.0, pelaku industri kesehatan akan sangat mendapatkan manfaat yang besar, ujarnya. .
Prof. Djoko mengungkapkan, Revolusi Industri 4.0 dapat memudahkan pasien mengakses info kesehatan via ponsel pintarnya. Salah satunya melalui inhaler digital untuk pasien penyakit paru obstruktif menahun yang dapat digunakan untuk memantau data inhalasi secara real-time.
Tidak hanya itu, banyak aplikasi kesehatan buatan yang membantu para pelaku industri kesehatan untuk mendiagnosis paasien. IBM Watson Project adalah alat lain yang mampu menunjang data klinis individu pasien, riset, dan sosial. Kecanggihan IBM juga mampu memperkirakan kadar gula darah pasien dengan hanya streaming data dari insulin pump.
Teknologi Genomic yang baru di Revolusi Industri 4.0 setidaknya mampu dihadapi dan dikembangkan oleh para pelaku industri kesehatan. Namun perlu diketahui bahwa kode etik dokter tetap harus dijunjung dan menjunjung intuisi seorang dokter.
Majunya dunia kesehatan melalui digitalisasi membuat perawat harus mampu beradaptasi. Prof. Djoko menegaskan, perawat harus lebih inovatif untuk merespon bisnis yang cepat berubah.
Di akhir sesi, Prof. Djoko menyimpulkan adanya kebijakan publik harus mengatur tidak adanya kesenjangan digital. Peran implementasi kaidah bioetika menjadi dsangat penting untuk menjaga bidang kesehatan tetap berada dijalan yang seharusnya. (*)