Foto : Ilustrasi
MEPNews.id – Saat PBB mengadakan Konferensi Lingkungan Hidup di tahun 1992 silam, ada salah satu tamu istimewa yang diundang untuk memberikan pidato di forum besar itu. Dia bukan pemimpin negara, dia juga bukan delegasi dari negara yang sengaja diutus menghadiri konferensi tersebut.
Severn Suzuki namanya, bocah 12 tahun pendiri ECO, Enviromental Childrens Organization adalah sosok tamu istimewa tersebut. Dia memang diminta berbicara di hadapan pemimpin terkemuka dunia. ECO yang dia dirikan saat dirinya baru berusia 9 tahun merupakan kelompok kecil anak-anak yang mendediksikan diri untuk belajar dan mengajarkan kepada anak-anak masalah lingkungan.
Salah satu poin menarik dari pidatonya kala itu, bahkan masih akan terus relevan melintasi dimensi zaman hingga hari ini. Saat itu dia menyebut “Jika Anda tidak tahu bagaimana cara memperbaiknya, tolong berhenti merusaknya”
Konteks pidato Severn adalah persoalan lingkungan. Problem lingkungan yang tak kunjung jadi prioritas penanganan para pemimpin dunia. Lingkungan yang semakin dengan bertambahnya hari, bukannya dibenahi malah dirusak. Hal itu, telah hampir terjadi di setiap negara di dunia ini. Wabil khusus di negeri kita tercinta.
Fenomena yang membuat Pendiri ECO itu mampu–diberi kesempatan menyampaikan pidato di forum PBB. Isi pidato yang bila kita mau memikirkannya maka kita tidak akan tega menelantarkan lingkungan. Apalagi berani merusak ekosistem alam.
Kembali pada lingkungan yang semakin ironi kondisinya. Khususnya bila kita hendak melihat pada kejadian karhutla misalnya, peristiwa yang hampir setiap musim kemarau terjadi di sebagian Sumatera dan Kalimantan. Asap hasil dari karhutla itu sangat menganggu aktivitas manusia, bahkan telah masuk kategori membahayakan nyawa.
Menilik akar masalah dari penyebab karhutla tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Jangan-jangan karhutla itu disengaja, lahan memang perlu dibakar sebagai upaya membuka lahan baru sebagai perluasan bisnis belaka.
Untuk itu, dibutuhkan sinergi antar lembaga negara yang menyatu di dalam bingkai menjaga alam dari kerusakan semakin parah. Komitmen bersama yang lahir dari kesadaran setiap pribadi bahwa alam adalah titipan, dan kita selaku manusia punya kewajiban menjaganya. Jikalau belum atau bahkan enggan menanam, maka jangan pernah kita merusak. Demikian.
(Aditya Akbar Hakim)