Foto : Ilustrasi
MEPNews.id – Rio F. Rachman, dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang dalam Harian Bhirawa menulis bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dapat diakses di kbbi.kemendikbud.go.id, yang dimaksud literasi adalah kemampuan menulis dan membaca.
Makna lainnya, kemampuan individu dalam mengelola informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Dengan demikian, mengasah literasi perlu dilakukan sejak dini. Sebab, urgensi literasi berhubungan dengan kelangsungan hidup seseorang.
Bertolak dari konsep tersebut, sungguh begitu penting urusan literasi ini. Literasi sudah seharusnya menjadi bekal bagi setiap pribadi. Siapa pun yang bermimpi ingin berhasil dalam laku kehidupannya. Maka ia wajib membudayakan literasi sebagai identitas pokok sehari-hari. Ia mesti mau memaksakan diri untuk lebih banyak membaca dari sekadar banyak berbicara, ia wajib sering mendengar dibanding hobi menonton.
Literasi itu kata kunci. Literasi sebagai penanda bagi kualitas suatu negeri. Tengoklah negara-negara lain yang telah punya budaya literasi tingkat tinggi. Di sana, segalanya serba maju tertata rapi, disiplin tingkat tinggi, dan paling penting warganya punya mental sebagai penentu, mereka tak mau tertinggal, mereka selalu dahaga akan informasi. Karena mereka telah sadar akan urgensi literasi sebagai tolok ukur kualitas diri pribadi. Bangsa yang besar pasti mereka berbudaya membaca, masyarkatnya cinta baca lalu mau menulis.
Sekarang coba kita melihat kembali ke dalam negeri. Sudahkah bangsa ini benar-benar berisikan masyarakat yang literat. Apakah konon minat baca yang telah tinggi itu juga diikuti pula dengan tingkat keterbacaan yang tinggi pula pada aktivitas membaca buku.
Apalagi tentang menulis, sudahkah masyarakat di negeri ini tahu serta paham lalu mau melatih dan membudayakan menulis sebagai puncak keterampilan berbahasanya. Diawali dengan banyak membaca setelah itu muncul hasrat ingin menuliskan sekigus meniru jejak penulis yang bukunya telah dibaca.
Terkait itu, keberadaan taman bacaan masyarakat, adanya kampung literasi di setiap pelosok negeri adalah kebutuhan yang menjadi keniscayaan. Hal ini karena, dengan adanya LSM yang gigih mengampanyekan pentingnya membaca buku, tentu dalam rangka ikut membantu menggelorakan gerakan literasi di seluruh bumi pertiwi.
Adapun jika hanya oleh sekolah, misalnya sebagai satu-satunya pihak yang diserahi amanah untuk program literasi, tentu ini bukan keputusan bijak. Sebab, basis gerakan literasi wajib dimulai dari rumah, di keluarga itulah sejatinya semua nilai-nilai diajarkan, dididikan kepada anak-anak.
Dengan metode pola pengondisian, pembiasaan, serta peniruan dari perilaku orangtua selaku role model utama dan pertama bagi anak-anak memegang peran penting. Bermula dari orangtua, berawal dari rumah setiap anak seharusnya mendapat asupan gizi soal literasi.
Setelah dari keluarga, setelah itu area gerakan literasi ini menjadi bagian atau milik tanggung jawab lingkungan, yang formal tentu sekolah. Sedangkan yang informal, yang lebih bersifat swadaya tentu salah satu ujung pionernya adalah LSM-LSM tadi, termasuk TBM atau Kampung Literasi.
Khusus untuk konteks kampung literasi. Kehadiran DeDurian Park dengan anak turunannya yang salah satunya adalah area Kampung Literasi Mini adalah jawaban atas kebutuhan akan tempat, lokasi, plus media berbagi inspirasi serta menampilkan aktualisasi potensi diri. Dengan spirit mengajak semua elemen anak negeri yang punya komitmen bersama meluaskan gerakkan membaca buku, khususnya mendekatkan bahan bacaan di tengah area wisata.
Jadi, di DeDurian itu bukan hanya berhenti pada wisata edukasi belaka, tetapi area wisata yang benar-benar berbasis literasi. Para pengunjung yang membawa anak-anak, setelah berselfie ria, setelah bermain air di kolam renang, mereka bisa memasuki lalu mau membaca ribuan koleksi buku bacaan yang tertata rapi di sudut area pojok literasi.
Untuk konsep wisata edukasi berbasiskan literasi, sepanjang penelusuran yang saya amati, di negeri ini belum pernah ada. Yang telah menjamur di mana-mana itu wisata berkonsep edukasi yang masih belum sepenuhnya berani menyandingkan buku bacaan dengan koleksi ribuan bukunya sebagai media utama literasi.
Jika sebatas wisata edukasi, tentu telah ada begitu banyak lokasi wisata yang melauching dirinya demikian, tapi baru di DeDurian-lah edukasi berbasiskan literasi yang sejati sebagai pionernya. Koleksi buku-buku di sana telah menyatu bersama di satu kompleks area wisata yang bisa jadi opsi bagi para pengunjung menikmati sajian buku yang menjadi roh dari gerakkan literasi.
Sebab dari buku, berawal dari membaca banyak buku. Buku genre apa pun dibaca, di situlah konsep literasi tengah berjalan berproses menjadikan si pelaku semakin bertambah pengetahuan serta meningkat kualitas dirinya.
(Aditya Akbar Hakim)