Predator Para Petani

MEPNews.id – Bisa jadi, meski sependek pengetahuan yang saya miliki, data itu kiranya masih misteri, adakah data berapa jumlah tengkulak di negeri ini. Agaknya belum ada data resmi. Termasuk data berapa jumlah petani di Indonesia yang mereka ternyata tidak bisa lepas dari godaan hantu bernama tengkulak. Padahal tak cukup dengan satu hantu. Masih ada satu predator lagi bagi para petani yakni terkait godaan dari sistem ijon.

Kedua hantu itu sungguh merupakan predator menakutkan, para petani kerap dibuat tidak berdaya saat berhadap-hadapan dengan serangan dua monster tersebut. Serangan yang selalu mendesak hingga para petani tak kuasa bertahan alih-alih melawan malah yang terjadi mereka mati kutu dibikin ketagihan.

Coba kita cermati satu fenomena kenaikan harga kebutuhan pangan, terutama pas kelangkaan stok cadangan menipis di gudang Bulog, misalnya. Lebih lucu lagi, saat musim panen raya tiba, tidak jarang tarulah semisal harga padi justru anjlok turun drastis. Hal ini memang terkait erat dengan hukum permintaan dan penawaran.

Lantas, mengapa fenomena demikian terus saja berulang, bukankah hasil komoditi pertanian negara kita ini begitu sangat besar. Total produksi gabah sejatinya cukup melimpah, khususnya di daerah yang telah menjadi lumbung padi nasional, tetapi yang terjadi tidak jarang malah harga gabah justru bernilai rendah, saat dijual kalau ada yang mau beli tentu untung didapatkan, tetapi jika dibeli dengan harga murah pasti petani malah rugi luar biasa.

Tengkulak yang bermain-main dengan hasil panen para petani itu, tentu mereka banyak mendapat untung, mereka sengaja menahan stok barang hingga menumpuk saat kondisi panen raya tengah berlangsung, tetapi ketika kelangkaan terjadi di pasar, saat masyarakat sudah mulai kesulitan membeli bahan makanan.

Di posisi inilah tengkulak mulai mengeluarkan stok barang di gudangnya, tentu harga yang dibandrol menjadi agak mahal atau bahkan sangat tinggi dibanding harga normal. Sedangkan masyarakat memang pas benar-benar butuh, mereka sangat bergantung pada keberadaan bahan makanan itu, sehingga berapa pun harganya, selalu saja dibeli meski dengan berat hati.

Fenomena demikian biasanya selalu terulang ketika musim panen, lalu diikuti anjloknya harga hasil pertanian dan atau perkebunan karena stok begitu melimpah. Di lain waktu ketika stok telah menipis, harga seketika melonjak drastis. Selalu saja begitu berulang-ulang.

Siklus setan itu pasti membuat petani pusing, mereka dilanda kecemasan, mereka was-was dirundung kekhawatiran karena untung tak dapat diraih sedangkan modal tak pernah kembali, bahkan mereka harus merugi akibat tak sebanding antara biaya produksi dengan hasil yang diperoleh. Bukan lagi laba tapi buntung karena modal tak pernah kembali.

Adapun terkait sistem ijon. Soal yang satu ini juga sama membahayakan, meski tak segawat dengan keberadaan para tengkulak. Dengan godaan ijon, para petani seakan dikejar-kejar oleh makelar yang tengah berburu mangsa.

Bagaimana bisa saat tanaman masih berbunga, pohon yang muncul bakal buahnya yang baru akan bisa dipetik lalu dipanen beberapa bulan berikutnya. Lha kok ujug-ujug sudah ditaksir harganya sekian-sekian, tarulah pohon mangga misalnya, pohon mangga yang baru mentil itu dibandrol oleh makelar lalu dibeli meski belum tampak buahnya.

Bagi para petani selaku pemilik tanaman menghadapi godaan rentenir ijon tersebut, kadang mereka tak kuat hingga gampang tergiur oleh rupiah yang melimpah, maka diberikanlah pohon yang masih berbunga itu lalu ia pun menerima pembayaran di muka, sisanya dibayar kontan ketika saat petik buah di bulan berikutnya.

Yang merusak dari sistem ijon adalah keseimbangan dari pertumbuhan pohon yang terganggu, terlalu lazim bila pohon yang telah ditebas dibeli itu dipaksa untuk cepat matang serta besar buahnya, sehingga siklus normal dilewati, pohon disuntik dengan beragam obat sehingga usia mungkin masih muda belia, tetapi hasil sungguh luar biasa.

Mungkin awalnya tidak masalah, tetapi pohon yang diperlakukan demikian pasti tidak mampu hidup dalam rentang waktu yang cukup lama. Pohon tersebut bisa jadi kuntet, metabolismenya tersendat karena berkali-kali dipacu hingga dipaksa untuk cepat berbuah agar bisa lekas diambil buahnya.

Itu bahaya paling gawat dari sistem ijon. Prinsipnya, baik tengkulak atau ijon, apa pun dalih yang mereka berikan, jelas tidak pernah bisa berujung pada kebermanfaatan yang berkelanjutan. Dua predator itu hanya tampak manis di muka, kelihatan menggiurkan di awal tapi setelahnya semua menjadi rusak karena telah menyalahi konsep sunatullah.

Sedangkan di DeDurian, dua predator itu tak akan mampu apalagi sanggup menggangu, sebab di DeDurian tidak ada tempat bagi tengkulak. Termasuk tidak bisa masuk godaan sistem ijon. Oleh pihak manajemen, semua telah diatur–dikondisikan secara berdikari demi serta kembali kepada para pemilik kebun yang telah sudi berinvestasi. Bagi hasil sesuai syar’i antara pengelola, petani, serta pemilik kebun menjadi solusi bijak plus cerdas, sehingga semua mendapat hasil merasakan manfaat yang sama rata sama bahagia.

Di sana, para petani kebun benar-benar diberdayakan, mereka dimuliakan, mereka ditinggikan harga dirinya sebagai petani yang mewarisi DNA nenek moyang negeri ini.

Merekalah yang menyiapkan lalu menata lahan, kemudian menanam, merawat, serta memanen hasil kebun yang ada di DeDurian. Termasuk yang menjual hasil kebun pun juga oleh tim DeDurian. Pada prinsipnya di DeDurian itu semua mesti digerakkan bervisikan demi memakmurkan bumi Allah secara berjamaah yang berujungkan berkah sebagai garis akhir tujuan kita menjadi pioner kebangkitan ekonomi umat sekaligus penentu peradaban.

(Aditya Akbar Hakim)

Article Tags

Facebook Comments

Comments are closed.