Ubah Sampah Jadi Listrik

MEPNews.id Sampah merupakan salah satu masalah besar di dunia, termasuk di Indonesia. Kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan dan pengelolaan yang tidak benar membuat lingkungan menjadi kotor. Contohnya di daerah Jember sebagai salah satu lokasi KKN (Kuliah Kerja Nyata). Banyak orang-orang desa membuang sampah di sungai yang akhirnya mengotori laut.

Hal itulah yang melatar belakangi Herri Trilaksana, S.Si., M.Si., Ph.D, dosen Fisika Universitas Airlangga, bersama dengan tim mahasiswanya (Andri Wahyudianto, Tabitha Pamela Chrisolite, dan Rifki Ferdiansyah) membuat inovasi menghasilkan listrik dari sampah.

Sampah yang dipilih yakni yang dapat diolah untuk menghasilkan gas sintetik. Gas sintetik adalah gas ikatan kimia rantai sederhana seperti karbon monoksida dan gas hidrogen yang mudah dibakar melalui mesin combustion.

“Harapannya, gas buang yang dihasilkan dari proses pembakaran gas sintetik ini bersih sehingga tidak mencemari lingkungan. Gas buang itu sisa pembakaran, kalau tidak bersih, akan merusak lingkungan,” ujar dosen Departemen Fisika yang September tahun lalu menyelesaikan studi PhD dari Flinder University, South Australia. 

Riset ini memiliki dua tahap. Pertama pada skala laboratorium dan kedua pada skala aplikatif. Pada tahap skala laboratorium, digunakan bahan-bahan organik padat sebagai penghasil gas. Sampah organik dipilih sebagai bahan bakar karena tidak memiliki banyak bahan samping yang berbahaya.

Pada tahap itu, kesulitan yang dihadapi Herri adalah saat proses gasifikasi yakni, proses perubahan bahan bakar padat menjadi gas. Proses itu tidak mudah untuk mendapatkan hasil gas yang bersih.

“Jadi, permasalahannya adalah bagaimana membuat sistem itu dapat mengahasilkan gas sintetik yang terpisah dari pengotornya. Artinya, proses purifikasi yang dilakukan harus baik,” tambahnya.

Selain itu, tahap skala laboratorium tersebut sistem pembersihannya masih menggunakan filtrasi. Termasuk purifikasinya (pembersihannya) masih menggunakan sistem yang sangat sederhana. Kelemahan skala laboratorium adalah tempertur pembakarannya tidak bisa tinggi. Di samping bahan bakar sampah yang digunakan tidak bisa diumpankan secara kontinyu atau terus menerus.

“Kalau temperaturnya nggak bisa tinggi. Gas yang dihasilkannya sedikit dan pengotornya masih ada,” katanya.

Seperangkat alat skala laboratorium untuk menghasilkan gas sintetis.

Tahap kedua, fokusnya mengembangkan reaktor (alat sebagai proses terjadinya reaksi berlangsung). Yakni, dengan memodifikasi suhu reaktornya 700°C. Sebab, gas yang dihasilkan bisa bersih dan sisanya menjadi abu bukan lagi arang. Sementara itu, pada tahap aplikasi tersebut, sampah yang menjadi bahan tidak terbatas.

Pada acara pegabdian masyarakat di Mojokerto di SMAN 1 Bangsal Kabupaten Mojokerto, telah dilakukan uji coba dengan menggunakan generator 1100 VA dan berhasil menghasilkan listrik. Berikutnya, diberi beban pertama blower yang membutuhkan 200 VA lancer. Kedua, diberi beban gergaji listrik sekitar 700-750VA masih lancar. Uji coba tersebut dapat bertahan selama setengah jam dengan bahan murni gas sintetik.

Dengan adanya riset tersebut, Herri berharap sampah yang sudah ada dan belum dikelola dengan baik, khususnya sampah padat organik, bisa termanfaatkan dengan baik. Sampah-sampah tersebut ternyata bisa diubah untuk menghasilkan listrik.

Selain itu, kemandirian bukan hal yang mustahil. Selama bisa mandiri secara energi, semua akan menjadi murah (affordable). Sebaliknya, ketika Indonesia tidak bisa mandiri secara energi, maka semua akan menjadi mahal.

“Dan, mahal itu fungsi dari punya duit atau nggak. Jadi, kalo kita nggak punya duit, tapi energi murah, hidup kita nggak jadi masalah,” katanya.

”Jadi, harapan saya, pengelolaan sampah seperti saat ini yang kurang baik. Maksudnya, masih ada yang lebih baik kenapa tidak kita lakukan hal yang lebih baik. Sehingga dapat menghasilkan energi listrik.” (*)

Facebook Comments

Comments are closed.