MEPNews.id – Diri kita ini sejatinya manusia penuh hutang. Kita ini hidup di balik topeng bernama punya beragam tanggungan.
Adalah Dr Suparto Wijoyo, saat menjadi narasumber di Gathering DeDurian Park Ahad 25 Agustus 2019 kemarin, beliau melempar satu gagasan cemerlang, satu ide cerdas, inovatif, serta kreatif yang bisa segera dieksekusi untuk jadi kenyataan.
Beliau menyebut, kita selaku manusia yang tidak mungkin bila sedetik pun harus berhenti bernafas, kita selalu di setiap detik, menit, jam, dan di bilangan waktu lainnya, kita pasti butuh oksigen untuk bernafas. Kita pasti akan langsung tewas bila oksigen tidak sampai kita hirup.
Sedangkan kita tahu, produsen oksigen di muka bumi ini adalah tumbuhan. Satu pohon yang berdaun hijau lebat adalah pabrik oksigen yang akan terus kita butuhkan. Kita begitu bergantung pada keberadaan pepohonan. Sehingga ketika satu pohon mati atau dengan sengaja ditebang demi dalih pengalihfungsian lahan untuk pembangunan serta pengembangan satu kawasan industri, perumahan, dan ruang-ruang publik lainya.
Hal itu artinya, di situ kita semakin menabung banyak hutang, karena kita diam atau bahkan ikut berperan untuk mengacaukan dan merusak ekosistem kehidupan. Bukankah sudah sering terjadi di negeri ini, bila ada satu kawasan lahan hijau atau satu area hutan yang sangat luas dengan keanekaragaman hayatinya, justru dengan dalih pembangunan atau pengembangan justru dibabat habis ditebang hingga berubah menjadi satu kawasan tanah lapang.
Memang pepohonan besar yang berusia ratusan tahun, pohon yang tumbuh besar hijau menjulang, semua itu merupakan aset berharga yang punya nilai tinggi bila dijual. Maka ditebanglah pepohonan yang menjadi jantungnya ekosistem di hutan. Bahkan yang ironis pepohonan banyak ditebang, hasil kayunya malah diangkut dijual ke luar, pun yang paling miris tentu pepohonan yang telah ditebangi itu nyatanya tidak pernah diganti dengan menanam pohon pengganti lainnya.
Di sini saya sengaja tidak berburu data terlebih dulu untuk menyuguhkan fakta tentang kerusakan lahan serta hutan. Cukuplah saya, Anda, dan kita menggunakan common sense, betapa kita telah sering melihat–mendengar informasi tentang terjadinya bencana tanah longsor, banjir bandang, kebakaran hutan, dan naiknya suhu permukaan bumi. Semua peristiwa itu terjadi tak lepas dari akibat adanya pengalihfungsian lahan untuk kepentingan tertentu. Dalih yang dipakai untuk pengembangan malah yang berujung rusaknya hutan dan ekosistem alam.
Terkait hal itu, kita perlu memikirkan soal deposit hutang yang kita miliki kepada alam. Sebab hutang kita tersebut selamanya akan tetap tercatat sebagai hutang. Hutang tidak bisa lunas sebelum kita mengganti–lalu membayarnya secara kontan. Lantas bagaimana caranya supaya dari tabungan hutang-hutang kita kepada alam itu dapat lunas terbayarkan.
Solusi cerdas serta cara bijak yang bisa kita lalukan adalah dengan kesediaan kita untuk menjaga, merawat, bahkan menanam minimal satu pohon di pekarangan rumah kita masing-masing. Jikalau kita masih enggan menempuh cara ini. Kita masih saja beralibi tak punya cukup luas halaman, lahan rumah yang sempit pepet-pepetan. Maka kita bisa mengalihkan sumber daya finansial yang kita punya kemudian dapat kita alokasikan guna turut berkolaborasi secara berjamaah di Kebun Berkah DeDurian Park.
Cara terakhir itu bukanlah semata pilihan pragmatis, apalagi satu keputusan ceroboh karena diri kita yang telah sudi keluar anggaran untuk membeli satu lahan kavling di DeDurian. Sungguh tidak semata seperti ini.
Sebab, dari lahan kebun yang telah kita beli itu, tarulah satu lahan dengan luas hanya 7×15 meter persegi, dengan ditanami dua buah pohon durian, belum lagi ada tanaman lain di sela-sela sisa lahan, ada jeruk, ada bunga krisant, dan tanaman lain yang jika ditanam tentu tak sampai menganggu pertumbuhan dari pohon durian sebagai komoditi utama lahan perkebunan.
Maka dari itu, atas pilihan pada solusi terakhir tersebut, di situ sama artinya kita telah menyicil untuk melunasi sebagian hutang-hutang kita kepada alam. Memang berawal dari dan hanya sekadar lahan sempit tak terlalu luas, alih-alih pohon yang ditanam di sana juga tidak dalam jumlah banyak.
Namun, penting kiranya kita pahami sekaligus kita tahu, bila di setiap pohon yang ditanam lalu tumbuh besar hingga berbuah lebat dari hasil kebun yang kita miliki tersebut. Semua itu pasti dapat menjadi wasilah atas makna saling memberi plus menebar banyak manfaat bagi seluruh alam, dengan tujuan memakmurkan bumi Allah yang ber-ending-kan keberkahan. ( Aditya Akbar Hakim )