Oleh: Esti D. Purwitasari
mepnews.id – Tessa ngajak saya ke kafe. Dia pingin curhat karena belakangan ini merasa punya banyak persoalan. Saya, sebagai teman, tentu saja siap mendengar segala ocehannya.
Tapi, selama sekitar dua jam ngobrol, perhatian saya mengarah pada jemarinya. Saat Tessa berhenti bicara, atau saat berfikir atau jeda sejenak, jemarinya menggaruk-garuk alis, dan tak lama kemudian mencabut beberapa helai rambutnya.
“Cha, ngapain sih? Nanti alismu bisa bolong lho?” tiba-tiba saya berkomentar.
Tessa kaget sebentar, lalu berusaha ketawa. “Ah, enggak kok.” Jemarinya turun dari alis. Tapi hanya sebentar. Saat mulutnya diam, ganti rambut depan jidatnya digaruk-garuk lalu dicabut. “Nggak tahu, Mbak. Rasanya kayak tangan ini refleks saja pengin nyabuti rambut.”
“Wah, ini serius. Banyak masalah, stress, nyabuti rambut….”
………….
Pembaca yang budiman, tampaknya Tessa teman saya itu sedang mengalami trichotillomania.
Dalam bahasa Yunani, istilah trichotillomania itu berasal dari kata tricho (rambut), tillo (mencabut), dan mania (kegilaan atau dorongan yang tak terkendali). Secara harfiah, ini berarti dorongan gila-gilaan untuk mencabuti rambut.
Dalam jagad medis, ini adalah gangguan psikis saat seseorang merasa sangat terdorong untuk mencabut rambutnya sendiri. Biasanya rambut dari kulit kepala, alis, bulu mata, atau bagian tubuh lain yang berrambut. Dorongan ini seolah tak tertahankan.
Kalau cuma sekali dua kali mencabut rambut, mungkin itu biasa. Kalau sudah jadi kebiasaan, orang lain mungkin menyebutnya aneh. Tapi, kalau sudah mulai terdorong sehingga kalau tidak mencabut maka ia tidak merasa lega, itu sudah mengarah ke Obsessive-Compulsive and Related Disorders (OCRD) berdasarkan DSM-5 (manual diagnosis gangguan mental).
Orang yang mengalami trichotillomania level OCRD biasanya mencabuti rambut secara berulang, terutama saat dalam situasi stres, cemas, atau bahkan saat sekadar bosan. Ia juga merasa lega atau tenang setelah mencabuti rambut, meski kemudian disertai rasa bersalah. Tak pelak, ada beberapa area rambut menjadi rusak, tipis, atau bahkan botak. Yang parah, ada beberapa trichotillomania yang memakan rambut yang baru dicabutnya (trikofagia).
Tessa berusia 20-an saat saya ketahui mencabuti rambut. Bisa jadi, sebagaimana umumnya kasus, ia mulai mengalaminya saat remaja namun tidak sempat pendapat penanganan secara spesifik. Kondisi trichotillomania biasanya berawal pada masa pubertas. Lebih sering terjadi pada wanita meski pria mungkin saja mengalaminya. Keinginan kuat mencabuti rambut itu sering dikaitkan dengan kondisi stres emosional, trauma, kecemasan, atau perfeksionisme.
Orang yang terkena trichotillomania umumnya tahu bahwa mencabuti rambut itu tidak baik tapi ia tidak bisa menahan dorongan untuk melakukannya. Tak pelak, ia sering menyembunyikan kondisi itu pada orang lain. Saat bagian rambut yang dicabuti sudah tampak botak, ia bisa saja jadi malu, merasa rendah diri, hingga menghindari interaksi sosial. Mungkin saja ia tidak mau potong rambut di salon, enggan ke sekolah, atau lainnya. Kalau sudah menarik diri, ini bisa memicu kondisi depresi, isolasi, dan gangguan citra tubuh.
Terus, bagaimana mengatasinya? Ada beberapa metode yang melibatkan si penderita dan orang-orang dekat di sekitarnya.
Metode mindfulness dan teknik relaksasi bisa diterapkan agar dia mengenali lalu mengalihkan dorongan cabut rambut sebelum hal itu terjadi. Agar lebih efektif, bisa juga diterapkan metode Terapi Perilaku Kognitif (CBT) – terutama Habit Reversal Training (HRT). Dalam kasus tertentu, dokter mungkin meresepkan SSRI atau antidepresan untuk membantu menurunkan tekanan mentalnya.
Pada saat yang sama, keluarga atau orang-orang dekatnya dipahamkan agar bisa menerima kondisinya tanpa harus menghakimi ini atau itu. Penerimaan dari orang-orang terdekat ini sangat penting untuk proses pemulihannya.
Jangan lupa, upaya pertama mengatasinya adalah minta bantuan pada Tuhan untuk mendapatkan kemudahan.
POST A COMMENT.